Pada tahun 1920-an dan 1930-an, ketika kebun binatang menjadi lebih populer dan membangkitkan rasa ingin tahu tentang hewan liar, cerita yang terbit menekankan peran gajah sebagai hewan beban.
Pada tahun 1928, sutradara King Kong Merian Cooper dan Ernest Schoedsack menulis dan memotret sebuah cerita tentang penjinakan gajah afrika. Mereka mengklaim "binatang yang perkasa, setelah tunduk pada kecerdasan superior manusia, melayaninya dengan baik."
Kemudian, pada 1950-an dan 1960-an, kamera yang lebih kecil memudahkan pelaporan lapangan, dan budaya safari Afrika berkembang. Pada periode ini, laporan National Geographic tentang gajah telah berubah menjadi "gagasan bahwa Anda pergi ke habitat hewan, bukan sebaliknya," kata Andrews.
Ketika Quentin Keynes—cicit Charles Darwin—memotret sebuah cerita di Kenya pada tahun 1951, ceritanya berjudul "Africa’s Uncaged Elephants" dan dipotret dari rumah pohon khusus yang ia bangun di sabana.
Jebakan kamera yang pertama kali dibuat oleh Shiras juga mulai berevolusi menjadi unit yang lebih kecil dan lebih sensitif. Jebakan kamera ini dapat menangkap kehidupan sehari-hari hewan liar yang belum pernah ada sebelumnya.

Pergeseran ke konservasi
Hampir tidak ada cerita gajah yang diterbitkan pada tahun 1970-an. Namun tahun 1980-an membawa serta era pelaporan konservasi, dimulai dengan artikel November 1980 “Africa’s Elephants: Can They Survive?” oleh seorang National Geographic Explorer bernama Iain Douglas-Hamilton dan istrinya, Oria.
Dua National Geographic Explorer, Beverly dan Dereck Joubert, kemudian memulai hal yang akan menjadi pekerjaan puluhan tahun mengamati dan mempelajari gajah afrika dengan karya Mei 1991 mereka, "Eyewitness to an Elephant Wake".
Kisah itu adalah salah satu cerita yang pertama menunjukkan bahwa gajah memiliki "kehidupan batin yang emosional". Bahwa seperti manusia, gajah mendukakan kematian mereka, kata Lori Franklin, seorang editor di National Geographic Image Collection.
Liputan National Geographic tentang gajah memiliki dampak yang berarti bagi masyarakat, kata Franklin.