100 Tahun Gajah: Lihat Bagaimana Nat Geo Memotret Makhluk Ikonik Ini

By Utomo Priyambodo, Senin, 1 Mei 2023 | 07:48 WIB
Sejak cerita gajah pertama diterbitkan di National Geographic pada tahun 1906, majalah tersebut telah mengambil sudut pandang yang berbeda dalam meliput binatang berkulit tebal itu, mulai dari sebagai buruan pemburu hingga binatang beban hingga spesies yang perlu diselamatkan. Seiring berjalannya wa (MICHAEL NICHOLS, NAT GEO IMAGE COLLECTION)

Nationalgeographic.co.id—Gajah dulunya dianggap sebagai hewan buruan yang eksotis dan hewan beban. Namun, gajah kini dipandang sebagai harta karun yang perlu diselamatkan.

National Geographic turut andil dalam pergeseran pandangan umum dunia terhadap gergasi sabana dan rimba ini. Majalah yang berpusat di Amerika Serikat dan kini memiliki edisi untuk banyak negara termasuk Indonesia ini, telah mempublikasikan banyak foto dan cerita mengenai salah satu satwa tercerdas di bumi itu.

Pemotretan sosok gajah untuk majalah National Geographic diinisiasi oleh seorang pejalan perempuan. Namanya Eliza Scidmore.

Scidmore adalah seorang penulis, fotografer, dan anggota dewan wanita pertama untuk National Geographic. Selain itu, Scidmore juga punya prestasi khusus: Dia adalah orang pertama yang menerbitkan foto gajah di majalah National Geographic, tepatnya pada bulan Desember 1906.

Semula, Scidmore adalah seorang pejalan biasa yang membawa bunga sakura Jepang yang terkenal ke ibu kota Amerilka Serikat. Namun, dia kemudian juga dikenal telah memotret gajah asia yang ditangkap di Siam (sekarang Thailand) untuk dijadikan hewan pekerja bagi raja.

Dalam kumpulan gambar gajah pertama yang diterbitkan di National Geographic, pada tahun 1906, Eliza Scidmore memotret gajah penangkaran yang menggiring gajah liar melintasi sungai di tempat yang sekarang disebut Thailand. Pada awal 1900-an, Scidmore menjadi nama yang umum bagi pembaca Geographic. Di (ELIZA R. SCIDMORE, NAT GEO IMAGE COLLECTION)

Setahun kemudian, pada tahun 1907, majalah tersebut menerbitkan foto gajah afrika di malam hari di dekat Gunung Kilimanjaro di Tanzania. Fotografernya, Carl Schillings, bekerja dengan gaya George Shiras, alias Grandfather Flash—orang pertama yang menggunakan jebakan kamera dan fotografi flash untuk mengambil gambar satwa liar.

Namun baru pada tahun 1912, National Geographic menerbitkan cerita feature pertamanya tentang gajah. Cerita ini merupakan bagian dari ekspedisi berburu yang dipublikasikan dengan baik dan dipimpin oleh mantan presiden AS Teddy Roosevelt dan difoto oleh Carl Akeley, seorang ahli taxidermi untuk P.T. Barnum, pendiri Sirkus Barnum & Bailey.

Sekumpulan gajah menyepak abu dari kebakaran hutan di lahan basah Sudd di Sudan Selatan dalam foto yang sebelumnya tidak dipublikasikan yang diambil pada tahun 2012. Penggembala sering menyalakan api di lahan basah ini, menambah ancaman terhadap kehidupan gajah, selain ancaman hilangnya habitat hin (GEORGE STEINMETZ/NAT GEO IMAGE COLLECTION)

Menengok ke belakang selama seabad pelaporan National Geographic tentang binatang berkulit tebal itu, Julia Andrews, seorang editor untuk National Geographic Image Collection, mengatakan bahwa ada "tren pasti yang akan bergeser dari dekade ke dekade."

Misalnya, kata Andrews, pada tahun-tahun awal tema yang berlaku adalah gajah yang diburu: “Ceritanya sangat banyak tentang 'manusia dengan pialanya'.”

Dalam pemandangan dari bawah perairan Delta Okavango di Botswana, seekor gajah afrika membunyikan terompetnya (belalainya) saat bermain. Gambar ini muncul di majalah National Geographic edisi Desember 2004. Hampir separuh gajah sabana yang tersisa di benua Afrika hidup di Botswana, sebagian besar di (DAVID DOUBILET, NAT GEO IMAGE COLLECTION)

Pada tahun 1920-an dan 1930-an, ketika kebun binatang menjadi lebih populer dan membangkitkan rasa ingin tahu tentang hewan liar, cerita yang terbit menekankan peran gajah sebagai hewan beban.

Pada tahun 1928, sutradara King Kong Merian Cooper dan Ernest Schoedsack menulis dan memotret sebuah cerita tentang penjinakan gajah afrika. Mereka mengklaim "binatang yang perkasa, setelah tunduk pada kecerdasan superior manusia, melayaninya dengan baik."

Kemudian, pada 1950-an dan 1960-an, kamera yang lebih kecil memudahkan pelaporan lapangan, dan budaya safari Afrika berkembang. Pada periode ini, laporan National Geographic tentang gajah telah berubah menjadi "gagasan bahwa Anda pergi ke habitat hewan, bukan sebaliknya," kata Andrews.

Ketika Quentin Keynes—cicit Charles Darwin—memotret sebuah cerita di Kenya pada tahun 1951, ceritanya berjudul "Africa’s Uncaged Elephants" dan dipotret dari rumah pohon khusus yang ia bangun di sabana.

Jebakan kamera yang pertama kali dibuat oleh Shiras juga mulai berevolusi menjadi unit yang lebih kecil dan lebih sensitif. Jebakan kamera ini dapat menangkap kehidupan sehari-hari hewan liar yang belum pernah ada sebelumnya.

Seekor gajah hutan betina menyerang fotografer Nick Nichols di Taman Nasional Dzanga-Ndoki Republik Afrika Tengah pada tahun 1993. 'Sangat jelas bahwa kami berada di tempat yang diatur oleh alam dan bukan oleh manusia. Itu benar-benar liar,' kata Nichols, yang foto-fotonya diterbitkan pada Juli 1995 (MICHAEL NICHOLS, NAT GEO IMAGE COLLECTION)

Pergeseran ke konservasi

Hampir tidak ada cerita gajah yang diterbitkan pada tahun 1970-an. Namun tahun 1980-an membawa serta era pelaporan konservasi, dimulai dengan artikel November 1980 “Africa’s Elephants: Can They Survive?” oleh seorang National Geographic Explorer bernama Iain Douglas-Hamilton dan istrinya, Oria.

Dua National Geographic Explorer, Beverly dan Dereck Joubert, kemudian memulai hal yang akan menjadi pekerjaan puluhan tahun mengamati dan mempelajari gajah afrika dengan karya Mei 1991 mereka, "Eyewitness to an Elephant Wake".

Kisah itu adalah salah satu cerita yang pertama menunjukkan bahwa gajah memiliki "kehidupan batin yang emosional". Bahwa seperti manusia, gajah mendukakan kematian mereka, kata Lori Franklin, seorang editor di National Geographic Image Collection.

Gajah yatim piatu berkumpul di sekitar kubangan air di Reteti Elephant Sanctuary di Kenya utara dalam sebuah artikel yang diterbitkan pada Agustus 2017. Komunitas Samburu yang merawat satwa muda itu mencoba mengembalikan mereka ke habitat aslinya, tempat mereka akan memiliki peluang bagus untuk berh (AMI VITALE, NAT GEO IMAGE COLLECTION)

Liputan National Geographic tentang gajah memiliki dampak yang berarti bagi masyarakat, kata Franklin.

“The Hidden Cost of Wildlife Tourism”, sebuah cerita sampul tahun 2019 yang difoto oleh Kirsten Luce, mengungkap penyalahgunaan gajah penangkaran. Cerita liputan ini menimbulkan petisi besar-besaran dan akhirnya melepaskan hewan terkenal yang terluka ke tempat perlindungan.

Seri tiga bagian “Megatransect: Across 1.200 Miles of Untamed Africa on Foot”—kisah perjalanan National Geographic Explorer Mike Fay melintasi tengah benua Afrika, difoto oleh Michael “Nick” Nichols—akhirnya mengarah pada penciptaan 13 taman nasional di Gabon dan tiga taman naisonal di Republik Kongo.

Memasuki abad ke-21, National Geographic terus berfokus pada penurunan populasi gajah. Ketiga spesies—gajah sabana afrika, gajah hutan afrika, dan gajah asia—kini terancam punah, sebagian besar karena perburuan gading dan hilangnya habitat.

Untuk mencegah gading itu masuk ke pasar gelap, seorang jagawana mengambil gading gajah yang diburu di Taman Nasional Amboseli Kenya dalam sebuah foto yang diterbitkan pada Oktober 2012. (BRENT STIRTON, NAT GEO IMAGE COLLECTION)

Namun ada juga cerita tentang harapan. Dalam hal ini para fotografer mencari solusi untuk krisis tersebut.

Foto Nick Nichols tentang gajah yatim piatu berhias jas hujan di David Sheldrick Wildlife Trust, pusat penyelamatan bayi gajah paling sukses di dunia, sangat populer di kalangan pembaca.

Laporan Ami Vitale tentang pejuang yang pernah takut pada gajah tetapi sekarang melindunginya, di Cagar Alam Samburu Kenya, juga menyoroti bagaimana perubahan bisa terjadi menjadi lebih baik.

Foto gajah sabana yang bergerak melintasi dataran Serengeti ini diterbitkan di National Geographic pada Oktober 2012. Pada 2021, para ilmuwan mengidentifikasi dua spesies gajah afrika: gajah sabana, yang terancam, dan gajah hutan, yang kritis. (MICHAEL NICHOLS, NAT GEO IMAGE COLLECTION)

Dalam cerita sampul bulan Mei 2023 “The Elephant Next Door,” foto-foto Brent Stirton mengilustrasikan bagaimana gajah asia dan manusia berebut ruang di dunia yang mengalami urbanisasi dengan cepat. (Tonton trailer untuk Secrets of the Elephants, serial National Geographic empat bagian yang streaming di Disney+).

Pelaporan selama seabad oleh National Geographic tentang spesies "luar biasa" ini adalah pencapaian yang tak tertandingi. Andrews percaya, "Kami mengedukasi orang-orang tentang gajah, dan pada akhirnya, kami harus sangat bangga akan hal itu."