Nationalgeographic.co.id—Zhu Di, kaisar ketiga dari Dinasti Ming, memerintahkan sebuah istana megah yang dibangun di Beijing pada tahun 1406. Saat itu ia mungkin tidak membayangkan kerumunan besar rakyat jelata mengantre untuk mengunjungi Kota Terlarang. Padahal di masa Kekaisaran Tiongkok, Kota Terlarang merupakan area yang tidak boleh dimasuki oleh rakyat jelata. Menghadapi kebakaran, kasim pencuri hingga invasi militer, Kota Terlarang melalui jalan berliku hingga akhirnya jadi museum untuk publik.
Istana megah, yang kemudian dikenal sebagai Kota Terlarang, merupakan kediaman eksklusif 28 kaisar dari Dinasti Ming dan Qing (1616—1911). Istana ini merupakan simbol kekuasaan tertinggi penguasa Kekaisaran Tiongkok. Tetapi pada tahun 1925, istana itu pun berubah fungsi menjadi museum. Kini Forbidden City atau Kota Terlarang menjadi salah satu tempat wisata paling terkenal di negara itu. Bila Zhu Di masih hidup, ia mungkin akan merasa kecewa.
Proses berliku untuk menjadi museum
Proses pembukaan Kota Terlarang untuk umum, yang mencapai puncaknya pada tahun 1925, sangatlah berat.
Proposal pertama untuk membangun museum rumah tangga kerajaan diajukan 20 tahun sebelumnya, pada tahun 1905. Saat itu politisi dan pengusaha Zhang Jian menulis peringatan kepada kaisar dan menyarankan agar mendirikan museum kerajaan di Beijing. Museum itu dapat menampilkan benda-benda dikumpulkan oleh keluarga kerajaan.
“Sebuah museum tidak hanya dapat membantu melindungi budaya bangsa, tetapi juga bermanfaat bagi pelajar dan cendekiawan muda,” tulisnya. Menurut cetak biru Zhang, museum serupa harus dibangun di semua provinsi. Jadi orang-orang di seluruh negeri dapat mengakses sumber daya pendidikan yang hebat ini.
Namun, usul Zhang ditolak. Rupanya, tidak terbayangkan bagi para penguasa untuk mengizinkan orang biasa memandangi koleksi kerajaan yang tidak ternilai itu.
Pada tahun 1911, Revolusi Xinhai berhasil menggulingkan Dinasti Qing. 1 tahun kemudian, Kekaisaran Tiongkok berubah menjadi Republik Tiongkok. “Sejak itu, sejarah panjang Kekaisaran Tiongkok terputus secara permanen,” tulis Sun Jiahui di laman The World of Chinese.
Perjanjian antara pemerintah republik dan mantan pejabat Dinasti Qing dibuat. Mantan kaisar dan keluarganya diizinkan untuk tetap tinggal di bagian belakang Kota Terlarang. Mereka ditemani oleh ratusan kasim, pelayan, dan penjaga.
Perjanjian tersebut menyatakan bahwa milik pribadi keluarga kerajaan akan dilindungi secara khusus oleh pemerintah republik. Namun perjanjian itu tidak menjelaskan kepemilikan artefak dan barang antik yang disimpan di dalam tembok istana.
Pada tahun 1913, Zhang sekali lagi mengusulkan untuk mendirikan museum nasional. Kali ini, idenya diterima oleh pemerintah republik.
Pada tahun 1914, Republik Tiongkok membangun Galeri Purbakala. Koleksi kerajaan dipindahkan dari ibu kota musim panas Rehe dan bekas ibu kota Manchu di Shenyang ke Kota Terlarang. Aula Wuying dan Aula Wenhua di Kota Terlarang digunakan untuk memajang benda-benda ini. Pada tahun 1914, Museum Pemerintah dibuka untuk umum, memajang perunggu dan porselen kekaisaran.