Nasib Ulama Jawa Usai Gerilya Dipanagara Melawan Hindia Belanda

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Senin, 24 April 2023 | 15:00 WIB
Dua halaman dari Babad Dipanegara yang menggambarkan perjuangan melawan kolonialisme Belanda. Perjuangan Dipanegara melibatkan persatuan umat Islam di sekitar Jawa tengah-selatan. (Pangeran Dipanegara/Wikimedia)

Nationalgeographic.co.id - Supaya bisa bergerilya, Pangeran Dipanagara dalam Perang Jawa membutuhkan banyak pendukung. Dukungan gerilya untuknya berasal dari kalangan agamawan Islam-Jawa.

Itu sebabnya sampai hari ini, perjuangan Pangeran Dipanagara selalu disebutkan sebagai perang suci Islam di Jawa atau jihad, oleh kalangan agamis.

Kondisi ini tentu berbeda pada kenyataannya bahwa Sang Pangeran sebenarnya tidak terlalu agamis, seperti suka minum anggur merah.

Meski demikian, kehidupan masa kecil Pangeran Dipanagara memang sangat dekat dengan kalangan ulama, pesantren, dan unsur sosial keagamaan lainnya.

Dia memang punya keturunan ahli agama seperti Kiai Derpoyudo dari Sragen dan Ki Ageng Perampelan di Pajang yang identik dengan "darah religius" Madura dan Bima.

 "Selain mendapat pendidikan agama di Tegalrejo, Pangeran Diponegoro juga menjadi 'santri lelono' yang mengunjungi beberapa pesantren dan situs historis Mataram Islam di Jawa tengah-selatan," tulis Ahmad Athoillah, sejarawan UGM dalam tulisan bertajuk "Aktor dan Jaringan Pesantren di Jawa Tengah-Selatan Pasca-Perang Jawa" di buku Urip iku Urub.

"Dapat dipastikan dalam diri Pangeran Diponegoro sejak muda telah mendapatkan pengetahuan yurisprudensi Islam, teologi skolastik, tata bahasa Arab (nahwu sharaf), dan tafsir Alquran, karena berbagai materi keagamaant tersebut telah diajarkan di berbagai pesantren pada periode 1819 sampai 1832," lanjutnya.

Sebelum masa gerilyanya, Pangeran Dipanagara punya jejaring kalangan agamawan. Dia membangun jaringan antara keraton, pesantren, dan masyarakat Islam, dengan dukungan keluarga besar (trah) Danurejan. 

Keluarga besar ini sangat berpengaruh dalam tatanan Keraton Yogyakarta, karena sering menghasilkan patih, jabatan setingkat Perdana Menteri hari ini.

Islam yang dilaksanakan Sang Pangeran adalah tarekat Syatariyah, menunjukkan pandangan mistiknya yang kerap disebut berbagai sejarawan.

Sikap religiusnya sangat melekat dalam citra dirinya, sehingga keluarga Keraton punya kedekatan. Bahkan, ketika adiknya hendak menjadi raja sebaga Hamengkubuwana IV, Dipanagara menganjurkannya untuk belajar kitab Islam.

Dari sinilah Pangeran Dipanagara pada masa gerilyanya kelak, mendapat dukungan dari kalangan agamawan. Kalangan agama yang mendukungnya setelah sekian tahun dalam kehidupannya bercitrakan sebagai orang agamis. Dia menggaet kalangan militan radikal, bantuan material, kawasan medan perang yang mendukung, dan dorongan moral kolektif.