Nationalgeographic.co.id - Supaya bisa bergerilya, Pangeran Dipanagara dalam Perang Jawa membutuhkan banyak pendukung. Dukungan gerilya untuknya berasal dari kalangan agamawan Islam-Jawa.
Itu sebabnya sampai hari ini, perjuangan Pangeran Dipanagara selalu disebutkan sebagai perang suci Islam di Jawa atau jihad, oleh kalangan agamis.
Kondisi ini tentu berbeda pada kenyataannya bahwa Sang Pangeran sebenarnya tidak terlalu agamis, seperti suka minum anggur merah.
Meski demikian, kehidupan masa kecil Pangeran Dipanagara memang sangat dekat dengan kalangan ulama, pesantren, dan unsur sosial keagamaan lainnya.
Dia memang punya keturunan ahli agama seperti Kiai Derpoyudo dari Sragen dan Ki Ageng Perampelan di Pajang yang identik dengan "darah religius" Madura dan Bima.
"Selain mendapat pendidikan agama di Tegalrejo, Pangeran Diponegoro juga menjadi 'santri lelono' yang mengunjungi beberapa pesantren dan situs historis Mataram Islam di Jawa tengah-selatan," tulis Ahmad Athoillah, sejarawan UGM dalam tulisan bertajuk "Aktor dan Jaringan Pesantren di Jawa Tengah-Selatan Pasca-Perang Jawa" di buku Urip iku Urub.
"Dapat dipastikan dalam diri Pangeran Diponegoro sejak muda telah mendapatkan pengetahuan yurisprudensi Islam, teologi skolastik, tata bahasa Arab (nahwu sharaf), dan tafsir Alquran, karena berbagai materi keagamaant tersebut telah diajarkan di berbagai pesantren pada periode 1819 sampai 1832," lanjutnya.
Sebelum masa gerilyanya, Pangeran Dipanagara punya jejaring kalangan agamawan. Dia membangun jaringan antara keraton, pesantren, dan masyarakat Islam, dengan dukungan keluarga besar (trah) Danurejan.
Keluarga besar ini sangat berpengaruh dalam tatanan Keraton Yogyakarta, karena sering menghasilkan patih, jabatan setingkat Perdana Menteri hari ini.
Islam yang dilaksanakan Sang Pangeran adalah tarekat Syatariyah, menunjukkan pandangan mistiknya yang kerap disebut berbagai sejarawan.
Sikap religiusnya sangat melekat dalam citra dirinya, sehingga keluarga Keraton punya kedekatan. Bahkan, ketika adiknya hendak menjadi raja sebaga Hamengkubuwana IV, Dipanagara menganjurkannya untuk belajar kitab Islam.
Dari sinilah Pangeran Dipanagara pada masa gerilyanya kelak, mendapat dukungan dari kalangan agamawan. Kalangan agama yang mendukungnya setelah sekian tahun dalam kehidupannya bercitrakan sebagai orang agamis. Dia menggaet kalangan militan radikal, bantuan material, kawasan medan perang yang mendukung, dan dorongan moral kolektif.
Ahmad menyebutkan, saat Perang Jawa berkecamuk setidaknya Pangeran Dipanagara mendapat dukungan dari 108 kyai, 31 haji, 15 syekh, 12 pegawai penghulu Yogyakarta, dan empat kyai guru. Asal mereka beragam, mulai dari Kedu, Bagelen, Banyumas, sampai berbagai pesantren di Jawa tengah-selatan lainnya.
Ulama perempuan seperti Nyai Mojo, Nyai Gedung Gubah, dan Nyai Muhammad Hasan pun turut serta. Gerilya Pangeran Dipanagara juga melibatkan tokoh muslim keturunan Arab dan Tionghoa untuk melawan pemerintah Hindia Belanda.
"Pangeran Diponegoro menginginkan supremasi hukum Islam-Jawa bagi orang Jawa dan Eropa di Jawa," tulis Ahmad. Ia menegakan hukum syariah, dan memakai huruf pegon—aksara Arab gundul untuk menulis bahasa Jawa, dan menolak bahasa Melayu pasar yang menjadi bahasa perantara di Hindia Belanda.
Namun, ikatan antarpesantren di Jawa tengah-selatan ini pupus ketika Dipanagara ditangkap. Ahmad menyebut kehidupan sosial keagamaan di wilayah ini mengalami "masa kegelapan".
Sebab, pemerintahan kolonial begitu memengaruhi aspek pemerintahan kesultanan, yang berimbas pada kegiatan keagamaan pada pesantren pendukung Dipanagara.
Baca Juga: Iktikaf Ramadan Dipanagara di Masjid Imogiri Mendorong Perang Jawa
Baca Juga: Kekacauan dan Pagebluk, Menanti Datang Ratu Adil Pangeran Dipanagara
Baca Juga: Silaturahmi Belanda Saat Lebaran, Berujung Petaka bagi Dipanagara
Baca Juga: Anak Pesantren Lekat dengan Budaya Antre Demi Memupuk Sikap Sabar
Banyak pesantren ditinggalkan ulama dan santrinya, karena sistem tanam paksa yang berlaku. Keadaan ini berbanding terbalik dengan pesantren di kota perdagangan pesisir utara Jawa.
Beberapa ulama yang penting, digantikan oleh pejabat keagamaan (penghulu) yang pada akhirnya memengaruhi masalah sosial keagamaan.
Setelah Perang Jawa di masa perombakan besar, kalangan ulama, pesantren, haji dan tarekat kerap melawan. Setelah 1855, pemerintahan kolonial menaruh perhatian kepada mereka.
Pasalnya, walau penghulu berperan besar dalam sosial kegamaan, ulama pesantren masih punya pengaruh.
Kalangan ulama memandang, penghulu adalah pekerja agama yang diangkat sistem kolonialis kafir. Dari sinilah, pemerintah kolonial meredam pengaruh agama Islam dengan penangkapan tokoh, daripada dengan gerilya.
Gerakan keagamaan Islam di Jawa pada akhirnya surut pada paruh kedua abad ke-19. Untuk membentuk gerakan yang kuat, mereka memerlukan regenerasi berjejaring yang justru baru lahir di awal abad ke-20, di mana organisasi keagamaan dan konsep berserikat tumbuh.