Nasib Ulama Jawa Usai Gerilya Dipanagara Melawan Hindia Belanda

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Senin, 24 April 2023 | 15:00 WIB
Dua halaman dari Babad Dipanegara yang menggambarkan perjuangan melawan kolonialisme Belanda. Perjuangan Dipanegara melibatkan persatuan umat Islam di sekitar Jawa tengah-selatan. (Pangeran Dipanegara/Wikimedia)

Pangeran Dipanagara (1785-1855). (KITLV)

Ahmad menyebutkan, saat Perang Jawa berkecamuk setidaknya Pangeran Dipanagara mendapat dukungan dari 108 kyai, 31 haji, 15 syekh, 12 pegawai penghulu Yogyakarta, dan empat kyai guru. Asal mereka beragam, mulai dari Kedu, Bagelen, Banyumas, sampai berbagai pesantren di Jawa tengah-selatan lainnya.

Ulama perempuan seperti Nyai Mojo, Nyai Gedung Gubah, dan Nyai Muhammad Hasan pun turut serta. Gerilya Pangeran Dipanagara juga melibatkan tokoh muslim keturunan Arab dan Tionghoa untuk melawan pemerintah Hindia Belanda.

"Pangeran Diponegoro menginginkan supremasi hukum Islam-Jawa bagi orang Jawa dan Eropa di Jawa," tulis Ahmad. Ia menegakan hukum syariah, dan memakai huruf pegon—aksara Arab gundul untuk menulis bahasa Jawa, dan menolak bahasa Melayu pasar yang menjadi bahasa perantara di Hindia Belanda.

Namun, ikatan antarpesantren di Jawa tengah-selatan ini pupus ketika Dipanagara ditangkap. Ahmad menyebut kehidupan sosial keagamaan di wilayah ini mengalami "masa kegelapan".

Sebab, pemerintahan kolonial begitu memengaruhi aspek pemerintahan kesultanan, yang berimbas pada kegiatan keagamaan pada pesantren pendukung Dipanagara.

Baca Juga: Iktikaf Ramadan Dipanagara di Masjid Imogiri Mendorong Perang Jawa

Baca Juga: Kekacauan dan Pagebluk, Menanti Datang Ratu Adil Pangeran Dipanagara

Baca Juga: Silaturahmi Belanda Saat Lebaran, Berujung Petaka bagi Dipanagara

Baca Juga: Anak Pesantren Lekat dengan Budaya Antre Demi Memupuk Sikap Sabar

Banyak pesantren ditinggalkan ulama dan santrinya, karena sistem tanam paksa yang berlaku. Keadaan ini berbanding terbalik dengan pesantren di kota perdagangan pesisir utara Jawa.

Beberapa ulama yang penting, digantikan oleh pejabat keagamaan (penghulu) yang pada akhirnya memengaruhi masalah sosial keagamaan.

Setelah Perang Jawa di masa perombakan besar, kalangan ulama, pesantren, haji dan tarekat kerap melawan. Setelah 1855, pemerintahan kolonial menaruh perhatian kepada mereka.

Pasalnya, walau penghulu berperan besar dalam sosial kegamaan, ulama pesantren masih punya pengaruh.

Kalangan ulama memandang, penghulu adalah pekerja agama yang diangkat sistem kolonialis kafir. Dari sinilah, pemerintah kolonial meredam pengaruh agama Islam dengan penangkapan tokoh, daripada dengan gerilya.

Gerakan keagamaan Islam di Jawa pada akhirnya surut pada paruh kedua abad ke-19. Untuk membentuk gerakan yang kuat, mereka memerlukan regenerasi berjejaring yang justru baru lahir di awal abad ke-20, di mana organisasi keagamaan dan konsep berserikat tumbuh.