Propaganda Mudik Lebaran Oleh Perusahaan Kereta Api Hindia Belanda

By Galih Pranata, Jumat, 21 April 2023 | 09:00 WIB
Para pekerja kereta api (kemungkinan foto ini diambil di Semarang). Salah satu moda yang masif digunakan untuk mudik lebaran. (Universiteit Leiden)

Nationalgeographic.co.id—Seperti halnya hari ini, mudik menjelang atau tepat di momen lebaran, menjadi satu agenda besar yang selalu ada di setiap tahunnya. Mudik adalah bagian budaya bagi Bangsa Indonesia.

Budaya mudik mengarahkan para pelancong untuk pulang ke kampung halaman demi bertemu sanak keluarga dan saudara. Hal ini dilakukan sebagai bentuk pertalian dan budaya umat Islam di Indonesia untuk memurnikan kembali dalam momen Idul Fitri

Menariknya, histori mudik sudah berkembang sejak lama, mengakar dari zaman ke zaman. Budaya yang sudah mengakar erat selama ratusan tahun lamanya ini, menjadi kebiasaan yang tak terpisahkan di akhir bulan Ramadan.

Mengadu nasib di tanah rantau diperkirakan jadi alasan utama bermulanya budaya mudik di tengah masyarakat. Hal itu, bahkan telah dilakukan jauh sebelum Indonesia merdeka, termasuk adanya sumber yang menyebut permulaannya sejak zaman Hindia-Belanda.

Mudik di era Hindia-Belanda agak sedikit berbeda dalam kacamata sejarah. Dilansir dari sebuah artikel karya Heri Priyatmoko, dosen Sejarah dari Universitas Sanata Dharma, menyebut jika di awal abad ke-20, Vorstenlanden (sepanjang Yogyakarta dan Surakarta) menjadi tempat orang-orang mengadu nasib.

Heri Priyatmoko menulis di Repository Universitas Sanata Dharma dengan judul Pagebluk dan Mudik yang terbit pada 2020. Heri menyebut, banyak orang dari berbagai daerah datang untuk mencari pengharapan hidup yang kelak menciptakan aktivitas mudik setiap menjelang lebaran.

Apabila di momen-momen sekarang Jakarta adalah poros dari tempat mengadu nasib, dahulu, tanah para Raja Jawa atau Vorstenlanden disebut Heri sebagai tempat yang ramai bagi para pelancong yang hendak mengadu nasib.

Terlepas dari hiruk pikuk mudik di masa lampau, kereta api adalah moda transportasi yang tak lepas dari budaya tahunan ini. Bahkan, kereta api dianggap sebagai salah satu pilihan tepat untuk pulang ke kampung halaman.

Dalam sejarah, kereta api bermula sebagai moda pengangkut komoditas perkebunan pemerintah kolonial. Yusi Ratnawati menyebut bahwa "kereta api di Pulau Jawa bertalian erat dengan kebutuhan akan sarana pengangkutan barang-barang atau hasil produksi."

Ia menulis dalam Journal of Indonesian History berjudul "Perkembangan Perkeretaapian Pada Masa Kolonial di Semarang Tahun 1867-1901" yang terbit pada tahun 2015. Peningkatan hasil perkebunan dan pertanian, mendorong pemerintah Hindia Belanda menambah transportasi darat yang dapat menembus ke wilayah-wilayah pedalaman Jawa, khususnya di Jawa Tengah.

Setelahnya, muncul pelopor perkeretaapian di Hindia Belanda. Berdiri NV Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM), suatu badan usaha swasta yang berdiri pada tahun 1862. 

Pada perkembangan selanjutnya, perusahaan NISM mulai memberikan kepercayaan penuh kepada Maarschalk dalam pembangunan jalur kereta api Batavia (Jakarta) menuju Buitenzorg (Bogor).

"Dalam surat acara resmi pemasangan paku rel perdana pembangunan jalur tersebut pada 1869," tulis Syarifani Herdianti, Agus Permana, dan Tarpin dalam jurnal Historia Madania berjudul Kereta Api dan Tradisi Mudik Lebaran di Bandung (Tahun 1980-2014) terbitan 2018.

Setelah keberhasilan perusahaan swasta NISM, akhirnya muncul SS (Staastsspoorwegen) yang merupakan perusahaan kereta api milik negara, Hindia Belanda. Pembangunan trayek pertamanya terjadi pada tahun 1875 dari Surabaya menuju Malang, Jawa Timur.

Seiring berkembangnya waktu, secara berkala, perusahaan kereta api milik negara ini mulai memperluas trayek lintasannya hingga hampir menjangkau seluruh wilayah di Pulau Jawa.

Merasa dapat diandalkan untuk memangkas biaya dan waktu bagi para penumpangnya, perusahaan Staastsspoorwegen mulai melancarkan propaganda berupa periklanan di media masa. Salah satu artefak visual yang masih ditemukan, berasal dari sekitar tahun 1937.

Perusahaan kereta api Hindia Belanda, Staatsspoorwegen menerbitkan propaganda lewat periklanan di surat kabar Batavia-centruum edisi 2 Desember 1937. (Arsip Perpustakaan Nasional RI)

Memanfaatkan tradisi mudik yang sudah mengakar di Hindia Belanda, kata-kata persuasif dan merefleksi mulai dimunculkan perusahaan SS lewat periklanan di surat kabar Batavia-centruum edisi 2 Desember 1937. Beritanya bertuliskan:

"Hari Raja Aidilfitri!!.... Setahoen sekali moesti, perloekan tengok familie. Itoe soeatoe kewadjiban!" sebuah redaksi dengan ejaan melayu lama, namun masih bisa dipahami maknanya dengan baik.

Sebagaimana tradisi sebelumnya, SS mengenakan dalih "kewadjiban (kewajiban)" untuk mempertegas dan mempropaganda masifnya tradisi mudik di Hindia Belanda. Kemudian, beritanya berlanjut:

"Tidak semoea orang gemar pergian; apa lagi jang djaoeh. Badan rasa lelah, sebab terbanting-banting di djalanan. Moeka menjadi mesoem, sebab kena angin dan aboe."

Suatu redaksi khas marketing yang sudah mulai dimunculkan, tentang adanya kerisauan dan permasalahan umum yang dihadapi masyarakat di Hindia Belanda selama mudik, kala itu.

Baca Juga: Trayek Semarang-Vorstenlanden Awal Sejarah Kereta Api Hindia Belanda

 Baca Juga: Stasiun Ambarawa: Riwayatnya Bersama Kota Militer Hindia Belanda

 Baca Juga: Kilas Balik Kejadian Kereta Hantu Melintas dari Bogor Menuju Jakarta

 Baca Juga: Kilas Balik Perkembangan Kereta Api di Indonesia dari Tahun 1870-1900

"Tetapi tidak oesah begitoe, kalaoe goenakan kreta api S.S. Djalan di atas rail menjebabkan tidak ada bantingannja, ditiap2 djendela ada katja oentoek penoetoep angin dan aboe," terus kalimat periklanannya.

Perusahaan Staastsspoorwegen memanfaatkan kecanggihan kereta api negara untuk dapat mengajak para pemudik agar dapat menempuh perjalanan jauh dengan aman dan nyaman, serta tidak mengalami kekusaman akibat debu jalanan.

Iklannya ditutup dengan kalimat: "GOENAKANLAH KERETA S.S. Sentaoesa Senang dan Moerah."

Melalui kalimat demi kalimat inilah, propaganda perusahaan kereta api negara nampak berhasil mengalihkan kebiasaan mudik rakyat beruang dengan menggunakan kereta api. Faktanya, itu masih terus bertahan sampai hari ini.