Selain itu, para peneliti juga menilai tentang hubungan antara jarak psikologi dan aksi iklim. Selama ini, asumsi jarak psikologi berseliweran dalam berbagai narasi sebagai hambatan aksi iklim.
"Sementara gagasan jarak psikologis tampaknya intuitif, gagasan itu juga telah dikritik, baik secara teoretis maupun empiris," terang para peneliti.
Hanya ada sembilan dari 26 studi yang menyebutkan bahwa jarak psikologi dan aksi iklim berhubungan.
"Persepsi perubahan iklim sebagai jarak psikologis tidak secara konsisten dikaitkan dengan tindakan iklim yang lebih sedikit dan bahwa pengurangan jarak psikologis mungkin tidak selalu efektif dalam mempromosikan aksi iklim," lanjut mereka.
Beberapa studi bahkan menyatakan bahwa perubahan iklim di tempat dan waktu yang jauh, membuat masyarakat ingin mengambil lebih banyak tindakan.
Selain itu, Van Valkengoed dan tim menemukan bahwa 25 dari 30 penelitian justru gagal membuktikan bahwa penurunan jarak psikologis, bisa meningkatkan aksi iklim.
Dari temuan ini, para peneliti menjelaskan bahwa kesalahpahaman yang meluas terkait jarak psikologis dan tindakan iklim, sebenarnya menghambat mitigasi perubahan iklim karena pengaruh sosial.
Misalnya, sebenarnya semua orang punya keinginan untuk bertindak secara sendiri-sendiri untuk memerangi perubahan iklim. Tindakan sendiri-sendiri ini, walau terpisah, bisa mewujudkan hasil yang massif.
Akan tetapi, karena orang mengira ada pihak yang memandang perubahan iklim sulit dilakukan karena jarak psikologis, gerakan individual tetapi massif tidak dilakukan.
Mereka akan berpikir upayanya sia-sia karena gerakan perubahan iklim yang nyata harus bergantung pada upaya gabungan dari banyak orang, terang para peneliti.
"Oleh karena itu, kami merekomendasikan para peneliti, komunikator, dan pembuat kebijakan untuk fokus pada bagaimana memanfaatkan temuan bahwa banyak orang telah menganggap perubahan iklim terjadi di sini dan saat ini," lanjut mereka.
Usaha aksi iklim di Indonesia