Nationalgeographic.co.id—Masalah perubahan iklim akan lebih mudah diselesaikan, jika kita semua bergerak bersama-sama.
Sayangnya, tampaknya masih ada 'sekat' yang memisahkan gerakan memerangi perubahan iklim. Mulai dari LSM hingga lembaga antarpemerintah, justru kerap bekerja dengan asumsi bahwa semua orang tidak termotivasi untuk bergerak.
Asumsi yang disampaikan kerap menyatakan bahwa banyak orang yang tidak tersentuh dengan masalah perubahan iklim.
Hal itu disebabkan karena dampaknya jauh secara wilayah (tempat) dan masa depan (waktu). Pandangan ini disebut sebagai "jarak psikologis" yang hanya tampak pada intuisi.
Pandangan ini dinilai salah oleh para peneliti dari University of Groningen, Belanda. Dalam jurnal One Earth yang dipublikasikan 21 April, para peneliti menyebut bahwa sebenarnya banyak orang yang melihat perubahan iklim sebagai masalah penting.
Kesadaran ini tidak dibatasi karena dampaknya ada di tempat yang jauh atau masa depan yang masih jauh.
Dengan kata lain, asumsi jarak psikologis yang kerap ditawarkan oleh berbagai lembaga pegiat iklim keliru.
“Tidak ada bukti yang konsisten bahwa menganggap perubahan iklim sebagai jarak psikologis menghambat aksi iklim, dengan penelitian melaporkan hasil yang beragam,” tulis para peneliti di dalam makalah bertajuk "The psychological distance of climate change is overestimated" itu.
Penelitian yang dipimpin oleh Anne van Valkengoed, doktor di Faculty of Behavioural and Social Sciences, University of Groningen, melakukan survei jajak pendapat publik.
Ada lebih dari 100 ribu responden dari 121 negara berbeda. Mereka ditanya tentang perubahan iklim.
Sebagian besar percaya bahwa perubahan iklim sedang terjadi hari ini atau dalam waktu dekat.
Responden yakin bahwa perubahan iklim akan sangat berdampak pada tempat mereka tinggal, bukan hanya tempat yang jauh.
Selain itu, para peneliti juga menilai tentang hubungan antara jarak psikologi dan aksi iklim. Selama ini, asumsi jarak psikologi berseliweran dalam berbagai narasi sebagai hambatan aksi iklim.
"Sementara gagasan jarak psikologis tampaknya intuitif, gagasan itu juga telah dikritik, baik secara teoretis maupun empiris," terang para peneliti.
Hanya ada sembilan dari 26 studi yang menyebutkan bahwa jarak psikologi dan aksi iklim berhubungan.
"Persepsi perubahan iklim sebagai jarak psikologis tidak secara konsisten dikaitkan dengan tindakan iklim yang lebih sedikit dan bahwa pengurangan jarak psikologis mungkin tidak selalu efektif dalam mempromosikan aksi iklim," lanjut mereka.
Beberapa studi bahkan menyatakan bahwa perubahan iklim di tempat dan waktu yang jauh, membuat masyarakat ingin mengambil lebih banyak tindakan.
Selain itu, Van Valkengoed dan tim menemukan bahwa 25 dari 30 penelitian justru gagal membuktikan bahwa penurunan jarak psikologis, bisa meningkatkan aksi iklim.
Dari temuan ini, para peneliti menjelaskan bahwa kesalahpahaman yang meluas terkait jarak psikologis dan tindakan iklim, sebenarnya menghambat mitigasi perubahan iklim karena pengaruh sosial.
Misalnya, sebenarnya semua orang punya keinginan untuk bertindak secara sendiri-sendiri untuk memerangi perubahan iklim. Tindakan sendiri-sendiri ini, walau terpisah, bisa mewujudkan hasil yang massif.
Akan tetapi, karena orang mengira ada pihak yang memandang perubahan iklim sulit dilakukan karena jarak psikologis, gerakan individual tetapi massif tidak dilakukan.
Mereka akan berpikir upayanya sia-sia karena gerakan perubahan iklim yang nyata harus bergantung pada upaya gabungan dari banyak orang, terang para peneliti.
"Oleh karena itu, kami merekomendasikan para peneliti, komunikator, dan pembuat kebijakan untuk fokus pada bagaimana memanfaatkan temuan bahwa banyak orang telah menganggap perubahan iklim terjadi di sini dan saat ini," lanjut mereka.
Usaha aksi iklim di Indonesia
Development Dialog Asia dan Communication for Change dalam survei "Yang Tidak Dibicarakan ketika Kita Bicara perubahan Iklim" melaporkan, orang Indonesia sebenarnya mengetahui masalah perubahan iklim, walau pemahamannya masih salah.
Kebanyakan dari masyarakat Indonesia memiliki kesadaran menjaga kelestarian lingkungan bersal dari nilai konservatif.
Setidaknya, ada tiga segmen utama masyarakat Indonesia dalam kesadaran perubahan iklim. Mereka adalah "Konvensional Mapan Peduli" yang banyak ditemukan di masyarakat, "Penggembala Non-Militan", dan yang paling kecil "Penjaga Tempat Kami".
Kelompok pertama adalah kalangan yang mapan dari segi sosio-ekonomi, punya pandangan terhadap perubahan iklim, dan mencari tahu isu terkait di media sosial.
Sementara yang kedua adalah kelompok yang kerap terlibat dalam kegiatan aktivisme lingkungan, dan terbuka pada pandangan-pandangan baru.
Baca Juga: Menyeimbangkan Pertanian Pangan 8 Miliar Manusia dan Ekosistem Dunia
Baca Juga: Perubahan Iklim, Rawa Garam Akan Tenggelam ke Laut Akhir Abad Ini
Baca Juga: Aksi Seru Bahas Bumi dan Netralitas Karbon: Anak Muda Bisa Apa?
Baca Juga: Miris, Hampir Tidak Ada Tempat di Bumi yang Aman dari Polusi Udara
Yang terakhir, "Penjaga Tempat Kami" adalah mereka yang sebenarnya kurang mengenali perubahan iklim.
Namun, secara pandangan, mereka terpanggil untuk melindungi lingkungan yang menjadi "tumpuan komunitasnya". Hanya sedikit dari mereka yang berniat dan pernah ikut aksi kolektif terkait isu iklim dan lingkungan.
Selain itu, ada banyak lembaga atau organisasi masyarakat sipil terkait perubahan iklim dan lingkungan di Indonesia.
Meski demikian, dalam survei, hanya sedikit masyarakat Indonesia yang pernah mengikuti aksi kolektif ini.
Hal ini bukan berarti kesadaran iklim masyarakat rendah, melainkan lebih berminat mengikuti aksi yang risikonya kecil, seperti donasi atau menjadi relawan lepas.
"Artinya, OMS (organisasi masyarakat sipil) harus menawarkan cara-cara masyarakat untuk berpartisipasi dengan berbagai tingkat risiko dan keterlibatan," terang kajian tersebut.