Status Sosial Bekel dalam Masyarakat Desa Zaman Hindia Belanda

By Galih Pranata, Senin, 24 April 2023 | 07:32 WIB
Rumah joglo di Yogyakarta sekitar tahun 1908 dengan jati sebagai bahan dasar fondasinya, menandakan kemapanan empunya (bangsawan). (Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Berdiam di bawah atap joglo yang menawan, saya tergerak untuk mengetahui asal-usulnya lebih jauh. Diketahui bahwa simbah buyut atau kakek buyut saya merupakan seorang bekel (dibaca: bêkêl) di zaman Hindia Belanda.

Rumah joglo yang berukuran cukup luas, biasanya hanya akan dimiliki oleh orang berstatus tinggi yang menempati kelas atas di stratifikasi sosial desan karena perannya dan kemapanannya secara finansial.

Singkat cerita, kakek saya bertemu dengan tambatan hatinya, yang kelak akan jadi nenek saya. Menariknya, keduanya bertemu dalam pekerjaan mereka sebagai bekel di kawasan Vorstenlanden, tepatnya Klaten.

Dengan kekuatan finansialnya—karena keduanya merupakan bekel di perkebunan Belanda—mereka sepakat untuk membangun rumah joglo berkayu jati kokoh nun mahal di masanya.

Berbicara terus menerus tentang bekel, seperti sebuah profesi yang cukup mapan di zamannya. Dari sana, muncul pertanyaan besar di benak penulis, apa sebenarnya bekel itu?

Sebelum beranjak lebih jauh, saya akan menekankan beberapa hal penting dalam penggunaan istilah kuno yang digunakan sejak berlangsungnya pemerintahan feodal di Jawa.

Sejak awal, semua tanah yang ada di era feodal adalah milik raja (dalem). Dalam melaksanakan pemerintahannya, seorang raja dibantu oleh keluarga kerajaan (sentana dalem) beserta pegawai atau pelayan istana (abdi dalem).

Sebagai bentuk terima kasih raja terhadap kinerja keluarga dan pegawainya, raja dengan suka rela memberi upah yang tidak berupa gaji (uang), melainkan hak atas tanah (lungguh)—dalam istilah Belanda dikenal dengan apanage.

Mereka yang berhak atas tanah, disebut juga dengan patuh. Rakyat yang hidup di atas tanah lungguh dianggap menumpang—atas kebaikan raja dan bangsawan—disebut magersari. Adapun warga desa yang menjadi magersari, disebut juga dengan istilah sikep.

Sebuah pendopo kerajaan yang sangat besar di Istana Mangkunegaran beratap joglo. (Crisco/Wikimedia Commons)

Tentunya terjadi perubahan yang signifikan dalam status kedudukan bekel sebelum dan setelah ditetapkannya Agrarische Wet 1870. Sebelum 1870, bekel dianggap sebagai mediator yang menjembatani antara pemilik tanah lungguh—pemiliknya disebut patuh—kepada penggarap atau kuli.

Adanya bekel sebagai mediator didasari karena patuh tidak pernah bersinggungan langsung dengan rakyat atau penggarap, perihal tanah kepemilikannya. Inilah yang menempatkan bekel selayaknya pengatur tanah lungguh, meskipun bukan miliknya. 

"Bekel dengan kekuasaannya itu berhak menunjuk rakyat untuk menjadi penggarap atau kuli," tulis Mia Audina dalam jurnal Ilmu Sejarah berjudul Kedudukan Bekel dalam Perubahan Sosial di Adikarto Tahun 1870-1925 yang terbit pada tahun 2019.

Namun, pasca dihapuskannya sistem tanam paksa (cultuurstelsel) dan ditetapkannya Agrarische Wet 1870, kedudukan bekel dalam status dan perannya di lingkungan sosial, berubah secara signifikan.

Semula bekel diperintah oleh raja atau bangsawan, semenjak diberlakukannya sistem ekonomi liberal, kepemilikan tanah mulai bergeser kepada swasta. Tak pelak, bangsa asing seperti orang-orang Cina, Arab, hingga Belanda mulai berhak atas tanah.

"Pada saat terjadinya persewaan tanah lungguh oleh perkebunan swasta, mekanisme penguasaan tanah dan tenaga kerja dalam sistem lungguh diambil alih oleh perkebunan," tambahnya.

Sementara itu bekel tetap dipertahankan sebagai pengelola faktor-faktor produksi di ke-bekelan-nya. Namun, mereka tak lagi berada dalam mekanisme birokrasi tradisonal sebagai pengerah kerja wajib dari petani atau kuli untuk patuh, tetapi sudah berperan lebih dari itu.

"Bekel tidak hanya menjadi penyedia tanah dan tenaga kerja bagi perkebunan, tetapi juga bertindak sebagai pengawas dalam proses produksi," terusnya. Hal ini yang mengakibatkan adanya perubahan sosial dalam stratifikasi peran yang pegang oleh patuh, bekel, maupun kuli.

Adanya peralihan hak tradisional itu secara otomatis telah menggeser posisi bekel dari bawahan patuh menjadi bahawan perkebunan. Seperti halnya kakek saya yang hidup pada era Hindia Belanda, ia telah bekerja di bawah onderneming tebu di Klaten.

Mia menambahkan bahwa "Selama tanah-tanah lungguh itu disewa oleh pihak perkebunan, bekel sudah tidak bertanggung jawab lagi kepada patuh, melainkan kepada perkebunan."

Adapun peran lain dari seorang bekel, yaitu berkenaan dengan pengerahan dan pengawasan tenaga kerja petani di perkebunan atau onderneming milik Belanda, khususnya pelaksanaan kerja-kerja wajib. 

Di sini tugas bekel adalah menentukan siapa-siapa saja sikepnya yang harus melaksanakan kerja wajib dan menentukan kapan saja waktu para sikepnya bekerja.

Berkat perannya, tak ayal bekel dipandang punya kuasa di kawasannya.

Baca Juga: Propaganda Mudik Lebaran Oleh Perusahaan Kereta Api Hindia Belanda

 Baca Juga: Munculnya Musik Tarling di Tanah Pantura Sejak Era Hindia Belanda

 Baca Juga: Karamnya Kapal Van der Wijck Jadi Bencana Besar di Hindia Belanda

 Baca Juga: Iklan Postspaarbank dalam Propaganda Bank di Zaman Hindia Belanda

Adapun besaran gaji yang diperoleh oleh bekel, diungkap oleh Febrie Hastiyanto dalam jurnal Kybernan berjudul Perencanaan Pembangunan dan Gerakan Sosial dalam Reforma Agraria di Indonesia terbitan 2019.

Ia menyebut bahwa rata-rata upah bekel sebesar "f.0,20 (seperlima gulden) dari hasil pertanian dalam satu lungguh." Febrie meneruskan, "upah f.0,20 ini kemudian dimaterialkan menjadi hak atas sebagian tanah lungguh untuk bekel yang kemudian disebut sebagai tanah bengkok."

Selain itu, dalam tafsiran lainnya, bekel juga diartikan sebagai pegawai yang berperan menarik pajak (upeti) atas sewa tanah di desa.

Kedekatannya dengan bangsawan ataupun pemerintah kolonial, membuat bekel kerap disegani masyarakat Jawa secara umum. 

Maka dari itu, wajar saja dengan penghasilan yang besar berupa tanah bengkok, membuat kehidupan bekel menjadi mapan.

Dari sini, dapat dilihat juga bahwa bekel telah memegang peranan penting dalam sistem sosial dan mekanisme perkebunan di zaman Hindia Belanda.