Namun, sang juru tulis juga diminta untuk mengurusi pekerjaan di luar kedinasan, "misalnya sebagai pembantu di rumah yang diikuti magang," terusnya.
Dari sini, Sudarno memandang bahwa juru tulis merupakan bagian pekerjaan rendahan karena tupoksi kerja yang berlebihan, ditambah lagi para pemagang diminta mengerjakan urusan yang bukan urusannya.
Meski demikian, Sudarno menambahkan tentang diperintahkannya pekerjaan di luar urusan kantor.
Tujuannya, supaya pemagang mengenal lebih jauh etika sopan-santun dan perilaku seorang pejabat, di samping mengetahui urusan-urusan adminitratif.
Walaupun sudah bertahun-tahun ikut magang, belum menjamin kelulusan. Pasalnya, tanpa memiliki prestasi kerja yang menonjol, disiplin, dan tekun, pemagang sulit dinyatakan lulus.
Apabila situasi ini terjadi, selamanya pemagang hanya akan menjadi seorang pemagang atau sebatas juru tulis.
"Kerja magang ini ada yang digaji ada yang tidak diberi gaji," ungkapnya. Ada yang sifatnya pengabdian, sebagaimana Sartono Kartodirdjo menyebutnya sebagai pekerjaan nyantrik. Atau, dalam istilah yang dipopulerkan Wartheim sebagai Magang-Stelsel.
Meski menyandang status pegawai rendahan juru tulis seumur hidupnya, ada juga pemagang yang beruntung karena mendapatkan upah atau gaji.
Mereka yang beruntung biasanya bekerja magang dengan priyayi di rumah keluarga pejabat tinggi (orang Pribumi atau Belanda).
Berbicara tentang peningkatan jenjang karir, ada juga yang berhasil. Seperti yang dirasakan Sewaka, yang telah mengabdi selama 12 tahun lamanya sebelum akhirnya naik ke posisi Wedana. Jabatan ini merupakan pemimpin wilayah administratif, setingkat di bawah bupati dan di atas camat pada zaman Hindia Belanda.
Ada pula yang lebih beruntung dari Sewaka, karena hanya melewati setahun masa magang saja.
Ahmad Djajadiningrat, seorang kemenakan dari Bupati Serang Karesidenan Banten, ia bertekad untuk menjadi pejabat pemerintahan. Kendati ia hanya berpegang ijazah sekolah menengah HBS pada 1899.