Perjalanan Terjal Pribumi Menjadi Pejabat Daerah Hindia Belanda

By Galih Pranata, Selasa, 25 April 2023 | 17:30 WIB
Pejabat daerah dari kalangan pribumi di Jawa Tengah. Menjadi pejabat daerah di Hindia Belanda harus melalui jalan terjal mulai dari magang hingga jadi bupati. (KITLV)

Nationalgeographic.co.id—Hindia Belanda terbentang jauhnya. Cerita sejarah yang menghias perjalanan Indonesia menjadi sebuah bangsa negara.

Salah satu kisahnya, tentang pribumi yang bercita-cita beroleh jabatan di pemerintahan.

Faktanya, menjadi seorang pejabat Hindia Belanda dari kalangan pribumi, jalannya relatif terjal.

Tidak mudah dan tak sederhana. Berbeda halnya dengan para Eropa atau Belanda totok, hingga indo (ras campuran Belanda dengan pribumi).

"Penduduk Pribumi menjadi pegawai atau bekerja sebagai pejabat daerah di linkungan instansi-instansi pemerintah Pangreh Praja (Inlands Bestuur) adalah amat sangat sulit," tulis Sudarno, dosen Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Ia menulisnya dalam bahan ajar perkuliahan berjudul Kerja Magang: Dari Jurutulis Sampai Bupati di Hindia Belanda Menjelang Abad XX yang dipublikasikan pada Repository UDINUS tahun 2015.

"Ada aturan-aturan yang membatasi penduduk pribumi untuk menjadi pegawai negeri (ambtenaar). Tidak sembarang orang atau setiap penduduk pribumi dapat dengan mudah menjadi pegawai pemerintah," imbuhnya.

Sudarno menyebut bahwa untuk menjadi pejabat kepala daerah (Inlands Hoofden), seperti misalnya asisten Wedana, Wedana, dan Bupati. 

Untuk menjadi pejabat di lingkungan administrasi pemerintahan Pangreh Praja, seorang pribumi harus melalui proses kerja magang terlebih dahulu.

Kerja magang dipandang sebagai pekerjaan yang paling rendah, yaitu pekerjaan juru tulis, di dalam struktur kepegawaian pada waktu itu.

Proses kerja magang bisa saja dilakukan pada pejabat, baik dari kalangan Pribumi maupun Belanda.

Lebih ekstrem, para pekerja magang ini tidak sebatas mengerjakan urusan administrasi perkantoran.

Namun, sang juru tulis juga diminta untuk mengurusi pekerjaan di luar kedinasan, "misalnya sebagai pembantu di rumah yang diikuti magang," terusnya.

Dari sini, Sudarno memandang bahwa juru tulis merupakan bagian pekerjaan rendahan karena tupoksi kerja yang berlebihan, ditambah lagi para pemagang diminta mengerjakan urusan yang bukan urusannya.

Meski demikian, Sudarno menambahkan tentang diperintahkannya pekerjaan di luar urusan kantor.

Tujuannya, supaya pemagang mengenal lebih jauh etika sopan-santun dan perilaku seorang pejabat, di samping mengetahui urusan-urusan adminitratif.

Walaupun sudah bertahun-tahun ikut magang, belum menjamin kelulusan. Pasalnya, tanpa memiliki prestasi kerja yang menonjol, disiplin, dan tekun, pemagang sulit dinyatakan lulus.

Apabila situasi ini terjadi, selamanya pemagang hanya akan menjadi seorang pemagang atau sebatas juru tulis.

"Kerja magang ini ada yang digaji ada yang tidak diberi gaji," ungkapnya. Ada yang sifatnya pengabdian, sebagaimana Sartono Kartodirdjo menyebutnya sebagai pekerjaan nyantrik. Atau, dalam istilah yang dipopulerkan Wartheim sebagai Magang-Stelsel.

Meski menyandang status pegawai rendahan juru tulis seumur hidupnya, ada juga pemagang yang beruntung karena mendapatkan upah atau gaji.

Mereka yang beruntung biasanya bekerja magang dengan priyayi di rumah keluarga pejabat tinggi (orang Pribumi atau Belanda).

Berbicara tentang peningkatan jenjang karir, ada juga yang berhasil. Seperti yang dirasakan Sewaka, yang telah mengabdi selama 12 tahun lamanya sebelum akhirnya naik ke posisi Wedana. Jabatan ini merupakan pemimpin wilayah administratif, setingkat di bawah bupati dan di atas camat pada zaman Hindia Belanda.

Ada pula yang lebih beruntung dari Sewaka, karena hanya melewati setahun masa magang saja. 

Ahmad Djajadiningrat, seorang kemenakan dari Bupati Serang Karesidenan Banten, ia bertekad untuk menjadi pejabat pemerintahan. Kendati ia hanya berpegang ijazah sekolah menengah HBS pada 1899.

Beruntungnya, berkat kecakapannya juga, Ahmad Djajadiningrat berhasil diangkat menjadi Wedana Kramatwatu sebelum akhirnya naik ke posisi yang lebih tinggi lagi, menjadi Bupati Serang.

F.K. Overduijn mengungkap tiga golongan tingkat kerja dalam tatanan politik pemerintahan lokal.

Golongan A adalah kedudukan wedana dan bupati; golongan B adalah kedudukan mantri; dan golongan C adalah kedudukan magang.

Dalam bukunya berjudul Benoeming, Promotie en pensioeneering van Inlandsche Ambtenaren op Java en Madoera (1900), Overdruijn menyebut bahwa "tidak seorangpun yang dapat dinaikkan (dibenoem) pangkatnya ke dalam kedudukan tingkat A tanpa lebih dahulu bekerja pada tingkat C dan B."

Litografi yang melukiskan seorang serdadu pribumi Hindia Belanda tengah menenggak legen atau tuak. Tampak pedagang menjajakannya dalam bumbung bambu. Minuman beralkohol ini populer di Jawa. Karya pelukis Auguste van Pers, terbit sekitar 1853-1856 di ‘s-Gravenhage, Belanda. (KITLV)

Lama atau pendeknya waktu magang diukur juga dengan status sosial mereka. Untuk pemagang yang berasal dari golongan priyayi rendahan maka harus menjalani kerja magang yang cukup lama.

Sebaliknya, untuk keluarga ningrat (bupati) dan berpendidikan Barat hanya menjalani masa magang dalam waktu yang singkat.

Hal inilah yang kemudian hari mengakibatkan munculnya dua kolompok priyayi: kelompok priyayi tua (priyayi birokrasi) dan priyayi muda (priyayi profesional).

Baca Juga: Nasib Ulama Jawa Usai Gerilya Dipanagara Melawan Hindia Belanda

 Baca Juga: Status Sosial Bekel dalam Masyarakat Desa Zaman Hindia Belanda

 Baca Juga: Propaganda Mudik Lebaran Oleh Perusahaan Kereta Api Hindia Belanda

 Baca Juga: Munculnya Musik Tarling di Tanah Pantura Sejak Era Hindia Belanda

Proses kegiatan kerja magang ini tampaknya merupakan kebijakan pemerintah kolonial untuk mencetak kepala-kepala daerah yang memiliki tingkat loyalitas yang tinggi.

Selain itu juga digunakan untuk mempertahankan bentuk adminitasi pemerintahannya yang bercorak beamstenstaat (negara pegawai) di lingkungan lembaga Kepangrehprajaan.

Dalam kacamata Sudarno, adanya beamstenstaat hanya menghambat kenerlangsungan hegemoni politik pribumi yang ada.

Di satu kaki, pemerintahan pribumi menginginkan eksistensi politik tradisional ala feodal, sedangkan, mereka telah menginjakkan kaki lainnya di tanah politik modern. Terjadilah Enfeodalisme di Hindia Belanda kala itu.