Nationalgeographic.co.id—Berdiam di bawah atap joglo yang menawan, saya tergerak untuk mengetahui asal-usulnya lebih jauh. Diketahui bahwa simbah buyut atau kakek buyut saya merupakan seorang bekel (dibaca: bêkêl) di zaman Hindia Belanda.
Rumah joglo yang berukuran cukup luas, biasanya hanya akan dimiliki oleh orang berstatus tinggi yang menempati kelas atas di stratifikasi sosial desan karena perannya dan kemapanannya secara finansial.
Singkat cerita, kakek saya bertemu dengan tambatan hatinya, yang kelak akan jadi nenek saya. Menariknya, keduanya bertemu dalam pekerjaan mereka sebagai bekel di kawasan Vorstenlanden, tepatnya Klaten.
Dengan kekuatan finansialnya—karena keduanya merupakan bekel di perkebunan Belanda—mereka sepakat untuk membangun rumah joglo berkayu jati kokoh nun mahal di masanya.
Berbicara terus menerus tentang bekel, seperti sebuah profesi yang cukup mapan di zamannya. Dari sana, muncul pertanyaan besar di benak penulis, apa sebenarnya bekel itu?
Sebelum beranjak lebih jauh, saya akan menekankan beberapa hal penting dalam penggunaan istilah kuno yang digunakan sejak berlangsungnya pemerintahan feodal di Jawa.
Sejak awal, semua tanah yang ada di era feodal adalah milik raja (dalem). Dalam melaksanakan pemerintahannya, seorang raja dibantu oleh keluarga kerajaan (sentana dalem) beserta pegawai atau pelayan istana (abdi dalem).
Sebagai bentuk terima kasih raja terhadap kinerja keluarga dan pegawainya, raja dengan suka rela memberi upah yang tidak berupa gaji (uang), melainkan hak atas tanah (lungguh)—dalam istilah Belanda dikenal dengan apanage.
Mereka yang berhak atas tanah, disebut juga dengan patuh. Rakyat yang hidup di atas tanah lungguh dianggap menumpang—atas kebaikan raja dan bangsawan—disebut magersari. Adapun warga desa yang menjadi magersari, disebut juga dengan istilah sikep.
Tentunya terjadi perubahan yang signifikan dalam status kedudukan bekel sebelum dan setelah ditetapkannya Agrarische Wet 1870. Sebelum 1870, bekel dianggap sebagai mediator yang menjembatani antara pemilik tanah lungguh—pemiliknya disebut patuh—kepada penggarap atau kuli.
Adanya bekel sebagai mediator didasari karena patuh tidak pernah bersinggungan langsung dengan rakyat atau penggarap, perihal tanah kepemilikannya. Inilah yang menempatkan bekel selayaknya pengatur tanah lungguh, meskipun bukan miliknya.
Source | : | jurnal Ilmu Sejarah,jurnal Kybernan |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR