Kretek Tapel Koeda, Riwayat Bisnis The Hwie Tjan dari Juwana

By Agni Malagina, Jumat, 28 April 2023 | 15:00 WIB
Pelinting kretek senior di Pabrik Tapel Koeda rata-rata telah bekerja belasan hingga puluhan tahun. (Agni Malagina)

Pada 1975, The Hwie Tjhan meninggal dunia dan kepemilikan serta operasional pabrik dipegang oleh sebelas anaknya. Perusahaan kembali berubah format dari CV menjad PT yang dikelola oleh anak-anaknya.

Saat ini Pabrik Kretek Tapel Koeda dikelola oleh cucu The Hwie Tjhan—Hendra Adidharma Tedjajuwana. Ia meneruskan perusahaan keluarga sejak tahun 1990-an dengan dukungan keluarga besarnya.

Dia menghadapi dinamika perusahaan, tantangan internal dan eksternal yang cukup pelik, terutama pada masa pagebluk Covid-19.

“Saya bukan penerus perusahaan keseluruhan, hanya kepala bagian produksi saja sebenarnya. [Perusahaan] tetap milik keluarga besar dari kakek,” ujar Hendra.

Dia menjelaskan, pabrik ini termasuk kategori SKT (sigaret kretek tangan), yaitu melinting kretek dengan alat pelinting dari kayu yang dioperasikan oleh tangan (tenaga manusia).

"Menghasilkan SKT papak dan SKT lancip bentuk akhirnya. Nah, yang melinting utama itu disebut bakon, biasanya di sebelahnya ada batil yang tugasnya menggunting kelebihan tembakau yang dilinting," ujar Hendra. 

“Kita tetap menjalankan manajemen warisan leluhur dan kearifan lokal yang kadang berbenturan dengan aturan yang akhir-akhir ini kita rasakan cenderung kaku,” ujar Hendra. Dia selalu berharap kebijakan dapat juga berpihak pada keberlangsungan rantai nilai mulai dari petani hingga konsumen.

“Perusahaan ini masih dijalankan secara tradisional dengan SKT, juga ada SKM alias sigaret kretek mesin. Namun, alat gulung kretek tangan masih tetap ada diperasikan tangan-tangan pejuang rupiah di kawasan ini,” ungkap Hendra.

Dia menunjukkan kegiatan karyawan yang sebagian besar adalah perempuan, ibu rumah tangga, yang telah bekerja di perusahaan tersebut berpuluh tahun.

Dinding pabrik yang dipenuhi memorabilia. (Agni Malagina)

Hendra mengungkapkan kondisi kala pandemi, ”Saat Covid itu... Juwana tiap hari terasa seperti kota zombie... Kematian bisa menghampiri siapa saja, prosesi pemakaman atau kremasi hanya ada keluarga berduka tanpa pelayat. Di pabrik pun suasana kerja dibuat berjarak, ruangan dibuka, kantor tidak menyalakan AC, setiap datang dan pulang pekerja pun harus masuk bilik desinfektan. Sangat mencekam.”

Hendra menggeluti bisnis keluarga yang menghidupi 150 karyawan dengan beragam ide-ide pengembangan bisnis. Termasuk menjadikan pabrik berusia 90 tahun itu sebagai tempat kunjungan.