Nationalgeographic.co.id—Tentang lagu yang viral di kalangan milenial sejak masuk ke dalam hits TikTok, memunculkan banyak simbol dalam setiap baitnya. Lagu tersebut berjudul "Cintamu Sepahit Topi Miring."
Lagu yang dinyanyikan dengan rap berbahasa Jawa itu, dinyanyikan dengan epik oleh Jogja Hip Hop Foundation. Tak pelak, banyak anak muda menggandrunginya dan mulai memasukkan ke dalam daftar lagu Spotify-nya.
Meski berbahasa Jawa, hits ini sudah didengar sebanyak 55.635.774 kali dalam platform Spotify sejak dirilis pada platform tersebut pada tahun 2013. Menyusul tren lainnya dengan lagu berbahasa Jawa yang populer di Indonesia belakangan ini.
Namun, tentu lagu ini menyimpan banyak tanda tanya besar. Banyak penokohan di dalamnya, mulai dari sengkuni hingga Ranto Gudel. Menariknya, nama Ranto Gudel menyeret saya pada satu fakta.
Sebuah larik berbunyi: "Terpesona Ranto melihat, Ia tertawa bergelak... Dan berubah jadi Ranto Gudel Sang pelawak... ."
Ranto Gudel yang muncul dalam bait yang sebagiannya digubah oleh pujangga Gabriel Possenti Sindhunata, yang kemudian dipopulerkan Jogja Hip Hop Foundation, kerap muncul. Bak sosok utama dalam lagu tersebut.
Tentang lirik "Ranto Gudel Sang Pelawak," menunjukkan kenyataan bahwa Ranto Edy Gudel memang merupakan pelawak, seniman dan budayawan Jawa asal Solo. Terlepas dari konteks saru dalam lagunya, Ranto adalah sosok seniman besar di zamannya.
Siti Fatimah dalam tesisnya menyebut bahwa Ranto Edy Gudel merupakan ayah dari pelawak Srimulat, Mamiek Prakoso dan penyanyi kondang campursari, Didi Kempot. "Ranto Gudel adalah pelawak yang disegani dan menjadi favorit pada masanya," lanjutnya.
Siti Fatimah menulis dalam tesisnya berjudul Kumpulan Puisi Air Kata-Kata Karya Sindhunata dalam Perspektif Semiotika Sosial yang dipublikasikan oleh Digital Library UNS pada tahun 2019.
Ranto Edy Gudel atau sohor dengan Ranto Gudel, lahir di Solo pada tahun 1937. Muchtaruddin Ibrahim dkk menyebut dalam Ensiklopedi Tokoh Kebudayaan IV (1999), menyebut bahwa ia merupakan anak bungsu dari empat bersaudara.
Ranto Gudel berhenti untuk bersekolah pada saat kelas 2 SMP. "Ia tidak berminat untuk melanjutkan sekolah, ke tingkat yang lebih tinggi," tulis Muchtaruddin Ibrahim, Julinar Said, Espita Riama, dan Andi Maryam dalam bukunya.
Dalam hemat Ranto Edy Gudel, sekolah yang sebenarnya adalah kehidupan yang dijalani. Landasan berpikir inilah yang barangkali telah membuka cakrawala pandangannya dan menjadi bahan lawaknya setiap berpentas lawak.
Dalam bahtera rumah tangganya, Ranto Gudel telah empat kali menikah. Dari keempat pernikaha itu, ia dikaruniai anak-anak yang cukup sukses. Kedua anaknya yang sohor di dunia entertain adalah Mamiek Prakosa dan Didik Prasetyo (Didi Kempot).
Baca Juga: Srimulat: Karakter Pertunjukan yang Membekas di Ingatan Kita.
Baca Juga: Kesenian Ketoprak: Dari Surakarta ke Yogyakarta untuk Semua Warga
Baca Juga: Senandung Sendu Seniman Ketoprak Ketika Terseret Pusaran Geger 1965
Keberhasilan Ranto Edy Gudel sebagai pelawak telah dapat dinikmatinya. Dengan hasil jerih payahnya, ia berhasil membangun rumah impian yang mewah di zamannya bernilai 90 juta rupiah di kampung Krembyongan Solo.
Begaimanapun, Ranto tidak menyombongkan diri. Salah satu kata-kata yang diingat publik, sebagai orang yang berbudaya, ia pernah mengatakan:
"Kita ini berasal dart rumput, suatu ketika mungkin ada burung mencucuknya, lalu dibawa ke atas pohon, namun kita mesti ingat asal kita".
Sejak bersekolah di Sekolah Rakjat (selevel Sekolah Dasar), Ranto telah mengidentifikasi tentang dirinya. Baginya, melucu adalah bakat yang muncul sejak ia kecil. Dari sini, ia giat melucu dari rekan sekelasnya hingga ke dunia luar selepas berhenti bersekolah.
Maka, tidak mengherankan "sejak usia remaja ia telah mendapat tempat di hati para penggemarnya lewat aksi panggungnya," tambah Muchtaruddin. Mulai dari Gelanggang Remaja inilah, Ranto melebarkan sayapnya di dunia hiburan.
Dalam meyalurkan misinya, Ranto Edy Gudel lebih banyak tampil sebagai pelawak tunggal—barangkali saat ini lebih dikenal dengan istilah stand up comedy. Karena menurutnya melawak sendiri lebih leluasa.
Dalam penampilan Ranto Edy Gudel terkesan cerdas. Kekuatan dialognya adalah pada sahutan, ia tidak pernah buntu, Kefasehan mengoceh tak henti-hentinya membuat banyak penonton tergelak.
Meski menikmati berkarir sebagai solo komedi, tidak menutup dirinya untuk berbagi peran dalam panggung lawak. Pada tahun 1970-an, Ranto Edy Gudel bergabung dengan wayang orang Cahyo Purnomo di Malang.
Memasuki tahun 1980-an, sukses berpasangan dengan Martati Tohiran membawakan Bancak Doyok. Membuat karir lawaknya semakin melejit. Ia kerap berpasang-pasangan dengan para lakon lawak sohor.
"Beberapa kali mentas (berpentas) di panggung Wayang Sriwedari, tapi seringnya jadi lakon di Ketoprak Mataram," sambung Heri Dwi Hartanto, seorang penikmat aksi panggungnya ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
Darah seniman seperti mengalir deras dalam dirinya. Dalam usianya yang ke-60, Ranto menunjukkan potensi lain dalam dirinya. Pada tahun 1995, ia menciptakan lagu pop Jawa yang diberinya judul "Anoman Obong".
Kekuatan lagu karya Ranto ini terletak pada karakter musiknya yang energik. Komposisinya merupakan perpaduan dari berbagai unsur musik yang sangat akrab di telinga masyarakat umum.
"Lagu ini telah mampu bersaing dengan lagu hits lainnya dan ini terbukti dapat merasuk ke pub atau kafe-kafe mewah di Jakarta," terusnya. Dari hasil rekamannya, Ranto beroleh keuntungan sebesar Rp.10 juta rupiah.
Ia dinilai berhasil sebagai salah seorang seniman karena mampu berpentas lawak maupun menyanyikan gending-gending Jawa. Inilah yang kemudian mewarisi bakatnya kepada anak-anaknya, Mamiek sebagai pelawak dan Didi Kempot sebagai penyanyi.
Memasuki usia 66 tahun, takdir hidupnya berkata lain. Tepat pada 8 Desember 2002, sang seniman yang kini namanya kembali dikenal karena lagu Cintamu Sepahit Topi Miring, tutup usia di Rumah Sakit Dr. Oen, Solo.