Nationalgeographic.co.id—Sebuah studi baru dari ilmuwan Yale University mengungkapkan efek gabungan suhu dan kelembaban udara di perkotaan yang dapat berdampak lebih parah. Mereka menggunakan data pengamatan dan perhitungan model iklim perkotaan untuk melihat dampak tersebut.
Seperti diketahui, saat ini fenomena gelombang panas telah menjadi masalah global terutama di daerah perkotaan dengan lebih sedikit ruang terbuka hijau.
Di Asia misalnya, gelombang panas melanda beberapa negara seperti Thailand, India dan Bangladesh dan telah menimbulkan banyak korban jiwa.
Temuan mereka telah diterbitkan di jurnal paling bergengsi Nature. Jurnal tersebut diterbitkan dengan judul "Increased heat risk in wet climate induced by urban humid heat" yang bisa diperoleh secara daring.
Pada penelitian ini, para peneliti menemukan bahwa beban tekanan panas bergantung pada iklim setempat. Namun, efek pelembaban dapat menghapus manfaat pendinginan yang akan datang dari pepohonan dan tumbuh-tumbuhan.
Saat suhu di seluruh dunia mencapai rekor tertinggi seperti saat ini dengan fenomena gelombang panas di banyak wilayah. Daerah perkotaan menghadapi tekanan panas yang meningkat.
Daerah perkotaan umumnya lebih hangat dan lebih kering daripada daerah pedesaan yang memiliki lebih banyak pohon dan tumbuhan. Sementara di Global South, ada faktor tambahan yang menyulitkan—panas lembab perkotaan.
Untuk diketahui, Global South adalah istilah yang umumnya digunakan untuk mengidentifikasi negara dan wilayah di kawasan Amerika Latin, Afrika, Asia, dan Oseania. Sebagian besar umat manusia tinggal di Global South.
Konsep Global North dan Global South (atau pembagian Utara-Selatan dalam konteks global) digunakan untuk menggambarkan pengelompokan negara menurut garis karakteristik sosio-ekonomi dan politik.
Studi baru yang dipimpin oleh para ilmuwan Yale School of the Environment ini menyelidiki efek gabungan suhu dan kelembaban pada tekanan panas perkotaan. Mereka menggunakan data observasi dan perhitungan model iklim perkotaan.
"Pandangan yang dianut secara luas adalah bahwa penduduk perkotaan menderita beban panas lebih banyak daripada populasi umum karena fenomena pulau panas perkotaan," kata Xuhui Lee, Profesor Meteorologi Sara Shallenberger Brown, yang mengarahkan penelitian ini.
"Pandangan ini tidak lengkap karena menghilangkan fenomena iklim mikro perkotaan yang ada di mana-mana yang disebut pulau kering perkotaan—bahwa tanah perkotaan cenderung kurang lembab daripada tanah pedesaan di sekitarnya."
Menurutnya, di iklim kering, sedang, dan boreal (kawan beriklim sejuk atau sedang), penduduk perkotaan sebenarnya tidak terlalu stres karena panas dibandingkan penduduk pedesaan.
Namun di Global South yang lembap, pulau panas perkotaan lebih dominan daripada pulau kering perkotaan, menghasilkan dua hingga enam hari tekanan panas ekstra berbahaya per musim panas."
Mahasiswa doktoral Lee dan YSE Keer Zhang, penulis utama studi tersebut, mengatakan bahwa mereka termotivasi untuk menyelidiki masalah ini karena beberapa alasan.
Sebagian besar populasi global tinggal di daerah perkotaan; Banyak orang di permukiman informal perkotaan tidak memiliki akses ke AC; dan masalahnya akan menjadi lebih buruk karena suhu naik dan lebih banyak orang pindah ke kota.
Sekitar 4,3 miliar orang, atau 55 persen dari populasi dunia, tinggal di perkotaan, dan jumlahnya diperkirakan akan meningkat menjadi 80 persen pada tahun 2050, menurut World Economic Forum.
Para peneliti mengembangkan kerangka teoretis tentang bagaimana lahan perkotaan mengubah suhu udara dan kelembapan udara.
Hal itu menunjukkan bahwa kedua efek ini memiliki bobot yang sama dalam tekanan panas yang diukur dengan suhu bola pijar basah. Hal ini berbeda dengan indeks panas lainnya, yang lebih berat pada suhu daripada kelembaban.
Suhu bola pijar basah menggabungkan suhu udara kering dengan kelembapan untuk mengukur panas lembab. Hasil penelitian, catat penulis, menimbulkan pertanyaan penting.
“Vegetarian hijau dapat menurunkan suhu udara melalui penguapan air, tetapi juga dapat meningkatkan beban panas karena kelembapan udara," kata Lee.
Pertanyaannya kemudian adalah sejauh mana efek pelembab ini menghapus manfaat pendinginan yang timbul dari penurunan suhu.
Baca Juga: Seruan Ilmuwan, 20.000 Kematian di Eropa Terkait Gelombang Panas
Baca Juga: Gelombang Panas Jadi Ancaman Negara yang Belum Terpapar Sebelumnya
Baca Juga: Besarnya Efek Riak dari 'Gelombang Panas Terburuk dalam Sejarah Asia'
Baca Juga: Dampak Perubahan Iklim, Gelombang Panas Menghantam Dasar Lautan
"Kami berharap dapat menjawab pertanyaan ini dalam sebuah studi tindak lanjut, di mana kami membandingkan pengamatan suhu bola pijar basah di ruang hijau perkotaan (dengan tutupan pohon yang lebat) dan di lingkungan yang dibangun."
Zhang mengatakan dia berharap penelitian ini dapat mengarah pada penelitian lebih lanjut tentang bagaimana kota dapat mengurangi tekanan panas.
"Analisis diagnostik kami pada pulau bola pijar basah perkotaan menemukan bahwa meningkatkan efisiensi konveksi perkotaan (efisiensi dalam membuang panas dan air) dan mengurangi penyimpanan panas di malam hari dapat mengurangi panas lembab perkotaan di siang dan malam hari," kata Lee.
"Kami berharap pekerjaan kami akan mempromosikan penelitian lebih lanjut tentang mengoptimalkan bentuk dan bahan perkotaan untuk kenyamanan termal yang lebih baik."