Penduduk Asli Lembah Amazon Lebih Mungkin Mati karena Kebakaran Hutan

By Ricky Jenihansen, Sabtu, 6 Mei 2023 | 08:00 WIB
Kebakaran hutan mengancam penduduk asli di Lembah Amazon. Kematian dini diperkirakan dua kali lebih tinggi dari wilayah Amerika Selatan lainnya. (Eraldo Peres via National Geographic)

Nationalgeographic.co.id - Penelitian baru dengan model lingkungan mengungkapkan bahwa penduduk asli Lembah Amazon lebih mungkin mati akibat kebakaran hutan. Penelitian tersebut dipimpin ilmuwan Harvard University dan dipublikasikan oleh IOP Publishing belum lama ini.

Hasil penelitian tersebut diterbitkan secara daring di jurnal Environmental Research. Makalah diterbitkan dengan judul "Health impacts of smoke exposure in South America: increased risk for populations in the Amazonian Indigenous territories" dan merupakan jurnal akses terbuka.

Menurut penelitian tersebut, penduduk asli Amazon dua kali lebih mungkin meninggal sebelum waktunya. Kematian dini tersebut akibat paparan asap dari kebakaran hutan.

Perkiraan tersebut didapat dengan membandingkannya dengan populasi Amerika Selatan yang lebih luas.

Daerah di Peru, Bolivia, dan Brasil diidentifikasi sebagai hotspot khusus untuk paparan asap, dengan angka kematian meningkat hingga enam kali lipat dari populasi umum.

Hotspot tersebut, merupakan area atau wilayah kecil dengan suhu yang relatif panas dibandingkan dengan sekitarnya.

Hasilnya menunjukkan bahwa asap dari kebakaran hutan di Amerika Selatan menyebabkan sekitar 12.000 kematian dini setiap tahun dari 2014 hingga 2019, dengan sekitar 230 kematian terjadi di wilayah pribumi atau penduduk asli.

"Kami memperkirakan bahwa asap dari kebakaran di Amerika Selatan menyumbang sekitar 12.000 kematian dini setiap tahun dari 2014–2019 di seluruh benua, dengan sekitar 230 dari kematian ini terjadi di tanah Pribumi," tulis peneliti.

Dengan kata lain, paparan asap menyumbang 2 kematian dini per 100.000 orang per tahun di seluruh Amerika Selatan, tetapi 4 kematian dini per 100.000 orang di wilayah Pribumi.

Bolivia dan Brasil mewakili hotspot paparan asap dan kematian di wilayah adat di negara-negara ini masing-masing adalah 9 dan 12 per 100.000 orang.

Paparan partikel asap berbahaya ditemukan jauh lebih tinggi selama musim kemarau di Lembah Amazon, dari Juli hingga November setiap tahun, ketika kebakaran hutan lebih tinggi dari dua kali lipat dan terjadi peningkatan konsentrasi PM2.5.

Eimy Bonilla, penulis utama studi ini, mengatakan: “Sementara wilayah adat menyumbang relatif sedikit kebakaran di Lembah Amazon, penelitian kami menunjukkan bahwa orang yang tinggal di wilayah ini (justru) mengalami risiko kesehatan yang jauh lebih besar dari partikel asap, dibandingkan dengan populasi umum.”

Penelitian sebelumnya di lapangan berfokus pada dampak kesehatan negara. Itu dalam skala yang lebih besar atau sangat bergantung pada data masuk rumah sakit dalam rentang waktu yang dipelajari.

Hal ini tidak menyoroti secara akurat dampak terhadap masyarakat yang tinggal di wilayah adat karena mereka sering kali berada lebih dekat dengan titik api, terpapar partikel asap untuk jangka waktu yang lebih lama, dan tidak memiliki akses ke perawatan medis yang tepat, bahan kebersihan, dan air bersih.

Asap mengepul dari kebakaran di daerah hutan hujan Amazon dekat Porto Velho, Brasil, pada tahun 2019. (Bruno Kelly)

Ancaman Kesehatan Manusia

Partikel asap yang dipancarkan oleh kebakaran di Lembah Amazon menimbulkan ancaman bagi kesehatan manusia. Penelitian sebelumnya tentang ancaman ini terutama berfokus pada dampak kesehatan di negara-negara secara keseluruhan.

Penelitian itu juga mengandalkan data masuk rumah sakit untuk menghitung respons kesehatan. Namun, analisis semacam itu tidak menangkap dampak terhadap orang-orang yang tinggal di wilayah adat yang dekat dengan kebakaran.

Sebagai akibatnya, masyarakat adat sering kali kekurangan akses ke perawatan medis dan mungkin tidak dapat mengakses rumah sakit.

"Di sini kami menghitung kematian dini akibat paparan asap dari orang-orang yang tinggal di wilayah Pribumi di seluruh Lembah Amazon," tulis peneliti.

Penelitian oleh para peneliti di Harvard University ini, menggunakan kombinasi model perpindahan kimia atmosfer dan fungsi respons konsentrasi yang diperbarui.

Tujuannya untuk memperkirakan tingkat kematian dini untuk populasi Pribumi yang terpapar PM2.5 konsentrasi tinggi.

"Analisis kami menunjukkan bahwa asap PM2.5 dari kebakaran berdampak buruk pada kesehatan manusia di seluruh Amerika Selatan, dengan dampak yang tidak proporsional pada orang yang tinggal di wilayah Pribumi," menurut para peneliti.

Dalam beberapa tahun terakhir, tingkat pembakaran biomassa di Amerika Selatan telah melonjak. Lonjakan ini didorong oleh degradasi hutan akibat aktivitas manusia (seperti pertambangan, penebangan, dan penggunaan lahan pertanian) serta variasi kondisi iklim.

Baca Juga: Gambut Nirkabut: Cerita Warga Riau Menyembuhkan Luka Kebakaran Hutan

Baca Juga: Khawatir, Gumpalan Asap Kebakaran Hutan AS Bagian Barat Semakin Tinggi

Baca Juga: Tak Hanya Manusia, Karhutla Ancam Kehidupan Satwa Liar di Sumatra

Biomassa adalah sumber energi dari material organik atau tanaman. Umumnya biomassa dapat menjadi sumber energi yang cukup besar sehingga berpotensi menjadi sumber pembakaran.

Kebakaran hutan melepaskan partikel asap kecil yang disebut PM2.5, yang diketahui berkontribusi secara signifikan terhadap konsentrasi aerosol dan berdampak negatif terhadap kesehatan manusia.

Paparan partikel-partikel ini dapat menyebabkan penyakit kardiovaskular (berkaitan dengan jantung) dan pernapasan, kanker, kelahiran prematur, disfungsi metabolisme, dan gejala fisiologis lainnya.

Partikel asap dari pembakaran biomassa di Lembah Amazon menempuh jarak yang sangat jauh, memengaruhi kualitas udara di beberapa negara di Amerika Selatan.

“Kebakaran ini memiliki dampak yang tidak proporsional pada orang-orang yang tinggal di wilayah adat. Dengan waktu paparan yang lebih lama, dan akses medis yang terbatas, penduduk asli menghadapi risiko kematian akibat kebakaran yang jauh lebih besar,” kata Bonilla.

“Kami merekomendasikan agar pemerintah memberikan bantuan keuangan untuk memantau kualitas udara di wilayah ini, menyediakan sensor berbiaya rendah untuk mempelajari dampak paparan asap jangka pendek dan jangka panjang.”