Nationalgeographic.co.id—Kebakaran hutan dan lahan sering terjadi di Riau, terutama jika lahan gambut kering. Tahun 2021, kebakaran yang terjadi menyisakan luka di wajah Utuh Basir, dan pandangannya menjadi lebih kabur. Kerugian tidak hanya pada fisiknya, tetapi kebun yang menjadi sumber kehidupan keluarganya juga hangus.
"Asap saya tempuh untuk lawan api," katanya saat berusaha memadamkan kebakaran. Dia sendiri adalah Ketua Masyarakat Peduli Api (MPA) Desa Tanjung Sari, Kabupaten Indragiri Hulu. "Api bisa ditangani, tapi kebun saya dan nanas juga habis."
Kebakaran yang dihadapi Utuh dan warga Desa Tanjung Sari sebenarnya tidak seberapa dibandingkan yang terjadi pada 2015-2018. Pada tahun 2016, hutan dan lahan di Riau terbakar seluas 2.348 hektare dengan total 150 kali kejadian, menurut data BPS.
Dari kebakaran itu, asapnya bisa mengepul sampai ke negara tetangga, Malaysia dan Singapura. Penyebabnya, selain faktor manusia, lahan gambut bisa menghasilkan api tiba-tiba karena kandungan haranya.
"Kalau sudah terbakar sekali, memadamkannya yang susah, Bang," kata Rio Rudiansyah, anggota TK-PPEG (Tim Kerja Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut) Desa Rambaian, Kabupaten Indragiri Hilir. "Kita harus waspada terus—jangan sampai lengah. Kalau ada warga yang bakar-bakar itu, mesti dijaga dan diawasi—jangan dibiarkan dan terjadi kebakaran."
Saking sulitnya, Rio bercerita walau saat pemadaman, api di depan sudah mati tetapi bisa muncul di sisi lain. Api bisa merambat dari bawah tanah gambut dan muncul di titik lain. "Makanya disebut 'seperti api dalam sekam," lanjut Rio.
Baca Juga: Pemadaman Tak Cukup, Kebakaran Lahan Gambut Harus Dicegah Banyak Pihak
Baca Juga: Indonesia, Brasil, dan Kongo Sepakati Kerja Sama Hentikan Deforestasi
Baca Juga: Khawatir, Gumpalan Asap Kebakaran Hutan AS Bagian Barat Semakin Tinggi
Baca Juga: Sukses Kurangi Emisi dari Degradasi Lahan, Kaltim Raup Rp328 Miliar
Kini, warga lahan gambut telah memiliki sekat kanal yang telah menjalar ke banyak perkebunannya. Sekat kanal yang membasahi lahan agar bencana itu bisa diminimalisasi. Sekat kanal yang airnya berasal dari kubah gambut, juga menjadi pasokan air untuk pemadaman jika kebakaran kembali terjadi.
Pembuatan sekat kanal itu diprakarsai oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama International Fund for Agricultural Development (IFAD). Mereka melibatkan warga untuk memitigasi lahan gambut tidak terbakar. Mereka yang terlibat bergabung sebagai TK-PPEG yang sering memantau di desa tempat mereka tinggal atau ditugaskan. Program itu sendiri adalah Sustainable Management of Peatland Ecosystems in Indonesia (SMPEI).
Abul Haitsam, koordinator SMPEI di Indragiri Hilir sangat dekat dengan warga. Dia sering mondar-mandir ke desa-desa di Indragiri Hilir, termasuk Rambaian, dan suka bercanda bersama warga. Saya melihat, tidak ada warga Rambaian yang tidak kenal dengannya.
“Warga Inhil (Indragiri Hilir) itu sudah kenal tata kelola air,” kata Abul. Sistem tata kelola air ini sudah dikenal masyarakat jauh sebelum program hadir di sana tahun 2019. Mereka telah membuat pintu air untuk mengelola air gambut pasang-surut.
“Hanya saja mereka sering membuat lahan mereka kering supaya bisa ditanami. Kalau basah, takutnya tanaman di kebun sulit tumbuh,” lanjutnya. Itu sebabnya, pada awal-awal sekat kanal dibangun, ada pula warga yang menolak kebunnya dilewati sekat kanal.
Setelah beberapa tahun, perkebunan warga yang terlibat dibantu untuk budidaya beberapa jenis tanaman. Sebagian sudah memberikan tanda keberhasilan tidak gagal panen, dan bahkan tidak sedikit hasil panen yang dimanfaatkan warga. Lahan warga yang terlibat menjadi demonstration plot atau demplot.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR