Natinalgeographic.co.id—Rekor baru suhu tinggi dilaporkan banyak negara di seluruh Asia, termasuk Indonesia. Rekornya bahkan mencapai lebih dari 40 derajat celsius akibat gelombang panas. Di Indonesia sendiri, suhu tertingginya mencapai 37,2 derajat celsius.
Suhu panas ini banyak dirasakan oleh masyarakat Indonesia, terutama di Jabodetabek. Rheza Maulana, alumni pascasarjana Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia seketika merenung saat panas hebat ini menerpa.
"Wah, ini yang telah disebutkan (sebagai kekhawatiran) sebelumnya," ujarnya saat dihubungi. Rheza menjelaskan, panas yang dirasakan di seluruh dunia ini betul-betul dampak perubahan iklim.
Aktivitas manusia menyebabkan emisi dan pelepasan karbon yang pada akhirnya berlebih di atmosfer. Gas seperti karbon dioksida ini menangkap menjebak panas matahari di atmosfer, dan menyebabkan perubahan suhu global. Inilah yang disebut sebagai efek rumah kaca--di mana panas yang masuk terperangkap, persis seperti rumah kaca untuk merawat tanaman.
"Sejauh ini yang membuat [suhu] meningkat itu [karbon berlebih]. Efeknya bisa ke mana-mana," kata Rheza.
Telah banyak penelitian yang dipaparkan oleh para ilmuwan bahwa meningkatnya suhu di atmosfer, berimbas pada berbagai mekanisme cuaca dan iklim. Pada akhirnya, membuat cuaca ekstrem, bencana, dan berbagai kerugian bagi umat manusia lainnya. Tentunya, suhu tinggi dan gelombang panas yang kita rasakan kali ini termasuk di dalamnya.
Oleh karena itu, kesadaran lintas negara untuk mengurangi dampak perubahan iklim diperlukan. Konferensi Perubahan Iklim PBB (UNFCC) atau biasa disebut Conference of the Parties (COP) diadakan sejak 1995. Salah satu anggotanya adalah Indonesia, yang merupakan rumah bagi hutan tropis penyerap karbon.
Dalam COP21 di Paris, Prancis, berbagai negara sepakat untuk menghentikan kenaikan suhu di bawah 1,5 derajat celsius.
Indonesia punya komitmen dalam Perjanjian Paris ini, agar memberantas perubahan iklim dengan 29 persen upaya mandiri dan 41 persen bantuan internasional. Hal itu disebabkan ketidakseimbangan sumber daya manusia, teknologi, dan finansial.
"Jadi sebetulnya, kalau negara lain menurunkan [sampai nol emisi] di tahun 2050, Indonesia di tahun 2060 atau lebih cepat," kata Rheza.
Sebagai kelanjutan dari konferensi adalah memikirkan bagaimana cara menurunkan kadar karbon atmosfer. Salah satu pembahasannya dilakukan lewat COP26 yang diselenggarakan tahun 2021 di Glasgow, Inggris. Rheza turut menyimak secara daring perbincangan tersebut.
Agar suhu bumi tidak memanas secara cepat, emisi perlu diturunkan dengan berbagai cara, termasuk memotong (zero carbon) maupun penyerapan karbon. Pemotongan karbon bisa dilakukan dengan transisi energi, seperti penghentian penggunaan batu bara dan mengganti transportasi ramah lingkungan.
Langkah adaptasi mulai diterapkan oleh Indonesia dalam peningkatan ambisi penurunan emisi gas rumah kaca. Hal itu tertuang lewat dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC), September 2022. Target usaha pengurangan emisi secara mandiri naik menjadi 31,99 persen, dan dukungan internasional menjadi 43,20 persen.
Namun, cara seperti itu memakan biaya, mengingat anggaran Indonesia memiliki banyak pengeluaran lain. Maka, perlu ada langkah pendanaan iklim dan kolaborasi. Lewat COP26, Inggris berkomitmen untuk membantu secara dana untuk pengurangan emisi karbon di Indonesia.
Di sisi lain, cara yang bisa membantu Indonesia mengurangi emisi karbonnya adalah dengan penyerapan. "Kalau menyerapan [karbon], itu kan bisa dari perluasan hutan. Semakin luas hutannya berarti yang bisa diserap lebih banyak," kata Rheza.
Lantas bagaimana dengan usaha penyerapan karbon ini? Desember 2022 Indonesia menyepakati Kerangka Kerja Biodiversitas Kunming-Montreal dalam Konferensi Biodiversitas ke-15 PBB (COP15). Isi kesepakatan itu, mengharuskan setiap negara minimal memiliki 30 persen kawasan lindung. Kesepakatan ini harus diberlakukan dengan target di tahun 2030.
Per tahun 2021, Indonesia memiliki 26,89 juta hektare kawasan lindung di darat atau sekitar 14 persen. Jika hanya mengukur angka kawasan lindung darat ini, butuh lebih dari setengah lagi usaha itu untuk mencapai 30 persen. Sayangnya, angka ini adalah hasil penurunan sejak tahun 2019.
Sementara di laut, kawasan konservasi telah mencapai 28,4 juta hektare atau setara 8,7 persen dari total luas perairan Indonesia, menurut laporan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Pihak KKP optimis untuk memenuhi target mencapai 32,5 juta hektare pada tahun 2030 untuk memulihkan ekosistem perairan.
Rheza berpendapat, jika suhu panas tidak bisa dihindari lagi, maka ada kerusakan alam yang juga tidak bisa dihindari. Pada akhirnya, berbagai jenis tumbuhan, termasuk untuk keperluan pangan.
Maka, ekosistem harus dijaga termasuk melestarikan satwa liar. "Kebijakan pemerintah harus didukung dengan aksi masyarakat," tutur Rheza. Dia melihat bahwa dukungan dan kegiatan pemeliharaan satwa liar marak dengan dalih terlanjur rusaknya ekosistem dan 'konservasi' yang dilakukan secara pribadi.
Baca Juga: Siasat Indonesia untuk Target Global Konservasi Keanekaragaman Hayati
Baca Juga: Ketidaksiapan Beberapa Negara yang Terdampak Buruk Suhu Panas Ekstrem
Baca Juga: Besarnya Efek Riak dari 'Gelombang Panas Terburuk dalam Sejarah Asia'
Baca Juga: Apa Itu El Nino & Bagaimana Mekanisme Iklim Panas-Dingin Ini Bekerja?
"'Ah, karena ekosistemnya udah rusak, kita harus pelihara sendiri'. Enggak begitu konsepnya," lanjutnya.
Keberadaan satwa di kawasan lindung, terkhusus di habitatnya sangat penting untuk mengembalikan ekosistem yang telah rusak. Dengan adanya satwa liar di habitatnya, mereka bisa mempertahankan pertumbuhan hutan. Misalnya, kotoran satwa liar yang bisa membantu penyuburan tanah supaya vegetasi hutan dapat tumbuh.
Pada akhirnya, semua elemen kehidupan di alam punya mekanismenya sendiri untuk mempertahankan suhu secara global. Ada banyak pekerjaan yang harus manusia lakukan untuk menghentikan terkaman krisis iklim yang semakin hari, semakin terasa.