Upaya Jepang Mengurangi Kasus Bunuh Diri di Hutan Aokigahara

By Sysilia Tanhati, Senin, 8 Mei 2023 | 19:58 WIB
Hutan Aokigahara terkenal sebagai lokasi bunuh diri. Kini pemerintah Jepang berupaya mengurangi kasus bunuh diri di tempat itu. (Public Domain)

Nationalgeographic.co.id—Di bawah bayang-bayang Gunung Fuji, terhampar Hutan Aokigahara yang luas. Hutan ini dikenal sebagai Jukai atau Lautan Pohon.

Pasalnya, gemerisik ranting-rantingnya konon menyerupai suara laut. Hanya 2 jam dari Tokyo, Aokigahara memiliki reputasi seram sebagai hutan bunuh diri. Kini pemerintah Jepang berupaya untuk mencegah kasus bunuh diri yang sering terjadi di hutan tersebut.

Hutan yang terkenal sebagai lokasi bunuh diri warga Jepang

Hutan Aokigahara memang terkenal menjadi lokasi bunuh diri warga Jepang. Di dalam hutan yang sering disebut sebagai ‘tempat sempurna untuk mati’ ini, banyak ditemukan mayat tergantung atau overdosis bersama dengan barang kenangan mereka.

Menurut kepercayaan warga sana, Aokigahara dihantui oleh yurei – sebutan untuk seseorang yang meninggal dengan perasaan benci, marah, sedih, dan dendam mendalam. Hal itu membuat jiwa yurei tidak tenang dan akhirnya masih gentayangan di dunia.

Para ahli spiritual Jepang yakin bahwa jiwa-jiwa pelaku bunuh diri di Aokigahara telah merasuki pohon-pohon di hutan tersebut. Mereka percaya, hal itulah yang akhirnya menyebabkan orang-orang ‘terjebak’ di dalam hutan, lalu ingin mengakhiri hidupnya.

Upaya pemerintah menekan angka bunuh diri di Hutan Aokigahara

Pengunjung Hutan Aokigahara disambut oleh tanda-tanda yang melarang orang untuk bunuh diri. “Pikirkan sekali lagi tentang orang tua, saudara, atau anak Anda dengan tenang,” bunyi salah satu papan reklame.

"Hidupmu adalah hadiah berharga dari orang tuamu."

Tingkat bunuh diri yang meningkat di Jepang telah menjadi berita utama selama beberapa dekade. “Terutama untuk pria berusia antara 20 dan 44 tahun,” tulis Cecilia Boogard di laman Ancient Origins.

Bahkan, memerangi ketidakbahagiaan telah menjadi prioritas utama pemerintah. Pada tahun 2021, Jepang bahkan menunjuk menteri untuk menangani masalah kesepian (Minister of Loneliness). Menteri ini bertugas untuk menangani masalah isolasi sosial dan bunuh diri yang sangat nyata.

Mengurangi angka bunuh diri adalah tugas berat

Namun mengurangi angka bunuh diri di Jepang adalah perjuangan berat. Pasalnya, masalah ini adalah perpaduan kuat dari pola pikir tradisional Jepang, ekspektasi masyarakat, dan ketidakamanan pekerjaan modern.

Secara historis, interpretasi kultural tentang bunuh diri di Jepang jauh berbeda dengan pemahamannya sebagai dosa dalam budaya lain. Bunuh diri di Jepang secara konvensional dikaitkan dengan cita-cita kehormatan yang diromantisasi.

Seppuku, misalnya, dimana prajurit samurai akan bunuh diri untuk mencegah aib yang menimpa keluarga mereka setelah kalah. “Tindakan ini dianggap sebagai kematian yang terhormat,” ungkap Bogaard.

Sanksi positif dari tindakan ini telah menginfeksi pola pikir orang Jepang. Tindakan ini berubah menjadi apa yang dikenal sebagai inseki-jisatsu atau bunuh diri yang didorong oleh tanggung jawab.

Dalam budaya di mana percakapan tentang depresi atau ketidakamanan keuangan dianggap tabu, kelompok yang terpinggirkan sering melakukan bunuh diri. Mereka melakukannya untuk menghindari beban atau untuk memastikan pembayaran asuransi untuk keluarga mereka.

Pada tahun 1993, Wataru Tsurumi menjuluki Hutan Aokigahara sebagai “tempat yang sempurna untuk mati” dalam The Complete Manual of Suicide. Hari ini Aokigahara dikotori dengan tenda-tenda yang dibuang dan berbagai kenang-kenangan. Semua diikatkan di sekitar pohon untuk mencegah pejalan kaki tersesat di antara labirin pohon-pohon.

Ketenaran Hutan Aokigahara diperparah juga oleh novel dan film-film. Otoritas lokal khawatir bila upaya untuk menekan angka bunuh diri menjadi sia-sia karena media sosial, film, atau novel.

Internet dibanjiri dengan mitos urban. Misalnya ponsel dan kompas yang tidak berfungsi di dalam hutan hingga cerita tentang roh yang gelisah. Tidak ketinggalan, aktivitas paranormal di Hutan Aokigahara pun digemari oleh masyarakat.

Sebagai tanggapan, kamera keamanan dan patroli anti bunuh diri telah diterapkan dengan harapan dapat menyelamatkan nyawa.

Sejauh ini, pemerintah Jepang berusaha untuk menutupi angka bunuh diri di Aokigahara untuk mengubah reputasinya.

Mereka juga membuat beberapa tanda di jalur hutan yang memotivasi orang-orang untuk memikirkan keluarganya dan membatalkan niat bunuh diri.

Hutan yang indah

Terlepas dari kasus bunuh dirinya, Aokigahara sebenarnya hutan yang indah. Pemandangan hijaunya berasal dari pohon-pohon menjulang yang berusia ratusan tahun. Itulah sebabnya hutan ini juga mendapat julukan ‘lautan pohon’.

Baca Juga: Rahasia Tanah HItam Amazon Dapat Membantu Pemulihan Hutan di Dunia

Baca Juga: Penduduk Asli Lembah Amazon Lebih Mungkin Mati karena Kebakaran Hutan

Baca Juga: Di Hutan Hujan Kalimantan, Manusia dan Babi Berjanggut Saling Terikat

Baca Juga: Ozon Mencegah Bumi Hangus, Tapi Asap Kebakaran Hutan Membalikkannya

Aokigahara menjadi salah satu tempat wisata yang digemari oleh orang-orang yang ingin mencari ketenangan. Meskipun begitu, saat berkunjung ke sana, sebaiknya tetap mengikuti jalur yang sudah ditentukan pengelola. Rimbunnya pohon terkadang membuat wisatawan mudah tersesat.

Hutan Aokigahara tumbuh subur di atas lahan seluas 30 kilometer persegi dari lava yang mengeras. Terbentuk dari sisa letusan besar Gunung Fuji pada 864. Di Aokigahara, juga terdapat beberapa gua yang penuh dengan es.

Jika Anda bergumul dengan pikiran untuk bunuh diri, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional. Kenali gejala-gejalanya, termasuk depresi klinis, upaya bunuh diri sebelumnya, hambatan perawatan kesehatan mental, perasaan terisolasi dan putus asa.

Jangan menderita dalam diam. Ada orang yang peduli dengan Anda dan ingin menawarkan dukungannya.