Segera setelah itu, Tokugawa Ieyasu mengukuhkan Keshogunan Tokugawa, pemerintahan militer feodal Jepang hingga tahun 1867.
Inilah adalah awal dari apa yang disebut Edo, atau Zaman Tokugawa, yang berlangsung selama 260 tahun berikutnya.
Dia juga memulai pekerjaan besar di markas Kastel Edo miliknya. Di sana, Ieyasu melakukan pekerjaan teknik sipil besar yang akan mengubahnya menjadi kastel terkuat di Jepang.
Kini, kastel itu menjadi kursi kekaisaran Jepang. Kota ini berhasil berkembang dari desa nelayan kecil menjadi kota metropolis dengan puluhan ribu penduduk. Semuanya berkat kerja keras Ieyasu.
Anehnya, Tokugawa Ieyasu turun takhta setelah hanya 2 tahun menjadi shogun. Dia mengundurkan diri dari posisinya demi putranya, Tokugawa Hidetada. Meski sudah pensiun, dia masih menjadi kepala klan dan penguasa Kekaisaran Jepang.
Ia juga masih terus menghadapi lawannya dan menghilangkan potensi ancaman terhadap keshogunannya. Salah satu ancaman tersebut adalah pewaris almarhum Toyotomi Hideyoshi, seorang pemuda bernama Toyotomi Hideyori.
Tuan muda ini memerintah dari takhtanya di Kastel Osaka. Di sanalah banyak lawan Ieyasu berkumpul.
Ieyasu pun berencana untuk mengakhiri permusuhan selamanya. Ia mengepung Osaka dan membunuh anggota terakhir keluarga Toyotomi yang masih hidup. Tuan muda Toyotomi Hideyori bunuh diri. Dengan demikian garis keturunan klan Toyotomi berakhir.
Pada tahun berikutnya, Ieyasu mengeluarkan sejumlah dekrit penting yang sebagian besar dibuat untuk memusatkan kekuasaannya. Dekrit itu juga membatasi hak penguasa daerah.
Dekrit pertama membatasi kekuatan militer para penguasa ini dengan mengizinkan mereka hanya memiliki satu kastel di wilayah mereka.
Selanjutnya dia mengeluarkan Undang-undang untuk Rumah Militer, sekali lagi membatasi para bangsawan melalui kode etik yang ketat.
Lambat laun, setelah membatasi kekuasaan daimyo, dia juga memperluas dominasinya di istana Kekaisaran Jepang. Akhirnya, dia berhasil menghapus sepenuhnya semua kekuatan politik dari Kaisar Jepang dan istananya di Kyoto.
Selain itu, selama pemerintahan Ieyasu, hubungan luar negeri meningkat secara signifikan. Dia mengawasi urusan diplomatik dengan Portugal, Inggris, dan Belanda. Ieyasu bahkan membangun kesepakatan perdagangan yang kuat yang sangat meningkatkan ekonomi Jepang.
Kesehatan Ieyasu menurun
Tokugawa Ieyasu tiba-tiba jatuh sakit pada tahun 1616. Kesehatannya mulai memburuk setelah perjalanan berburu dan beberapa diagnosa muncul. Beberapa mengatakan bahwa dia jatuh sakit karena mengonsumsi hidangan yang disebut tempura ikan air tawar.
Lainnya memperkirakan bahwa ia menderita sifilis atau kanker perut. Penyakit itu berangsur-angsur menguasainya dan dia meninggal pada 1 Juni 1616, dalam usia 73 tahun.
Ieyasu awalnya dimakamkan di Kuil Kunozan di Prefektur Shizuoka modern. Namun, pada tahun 1617 ia secara anumerta diangkat sebagai dewa Tosho Daigongen (Gongen Agung, Terang dari Timur).
Jenazahnya diabadikan di Kuil Nikko Toshogu di Prefektur Tochigi saat ini. Sampai hari ini, kuilt tersebut menjadi tujuan wisata yang sangat populer.
Seorang pejuang, sarjana, diplomat yang cerdas, dan komandan militer yang kejam, Tokugawa Ieyasu bangkit dari nol untuk menjadi yang terkuat.
Dimulai sebagai sandera di klan yang runtuh, dia berusaha membalikkan nasibnya sendiri dan menantang takdir. Dengan keterampilan dan ambisi, didorong oleh kesabaran, Ieyasu menjadi orang paling berkuasa di Kekaisaran Jepang. Ia mengubah masa depannya secara mendasar dan memperkuat fondasi Jepang modern yang terpusat. Keturunannya bahkan masih hidup sampai sekarang.