Nationalgeographic.co.id—Menyusul kematian Ratu Elizabeth II, putranya Charles, menjadi Raja Charles III dalam momen bersejarah bagi Kerajaan Inggris. Sebagai raja baru, Charles harus memilih nama pemerintahan yang akan digunakan. Sebelum penobatannya, para pakar kerajaan bertanya-tanya apakah raja baru itu akan menggunakan nama lain.
Seperti yang diketahui, ia dilahirkan dengan nama Charles Philip Arthur George. Apakah ia akan memilih salah satu nama tersebut?
Raja Arthur, tentu saja, adalah legenda. Raja George akan menempatkannya di bawah kakeknya, Raja George VI. Sedangkan kakek buyutnya adalah Raja George V.
Jika Charles memilih nama Raja Philip, itu akan menjadi penghormatan bagi mendiang ayahnya, Pangeran Philip, Duke of Edinburgh.
Namun, terlepas dari spekulasi tersebut, raja baru menyebut dirinya sebagai Raja Charles III. “Rupanya Charles mengikuti jejak ibunya, yang mempertahankan nama lahirnya sebagai ratu,” tulis Natasha Leake di laman Tatler.
Pilihan Raja Charles membuat banyak orang mengernyitkan dahi. Kenapa? Para pendahulu Raja Charles III, yaitu Charles I dan Charles II, harus mengalami nasib yang kurang menguntungkan.
Pilihan nama Charles III membuat beberapa orang bertanya-tanya apakah nama itu terkutuk?
Charles I, 1625-1649
Charles I adalah Raja Inggris, Skotlandia, dan Irlandia dari tahun 1625 hingga 1649. Lahir pada tahun 1600, ia adalah putra kedua James VI dari Skotlandia dan Anne dari Denmark.
“Charles I menjadi pewaris takhta pada saat kematiannya saudara laki-lakinya, Pangeran Henry, pada tahun 1612,” tambah Leake.
Saat masih kanak-kanak, Charles I berjuang dengan kesehatannya. Ia diharuskan memakai penyangga untuk memperkuat kakinya. Konon Charles I memiliki masalah gangguan bicara gagap.
Seluruh pemerintahan Raja Charles I dihabiskan dengan konflik parlemen. Permusuhan ini meningkat menjadi perang saudara di Skotlandia dari tahun 1637, di Irlandia dari tahun 1641, dan kemudian Inggris dari tahun 1642-46 dan 1648.
Para prajurit yang berjuang untuk parlemen dijuluki sebagai 'roundheads' karena rambut pendek mereka. Sedangkan mereka yang berjuang untuk Raja Charles I dijuluki 'angkuh' karena penampilan mereka yang flamboyan.
Pemberontakan sipil akhirnya menyebabkan eksekusi Raja Charles I pada tahun 1649. Saat itu ia dituduh melakukan pengkhianatan dan dipenggal di luar Banqueting House di London.
Raja Charles I berkata sesaat sebelum kematiannya, “Subjek dan penguasa adalah hal yang berbeda. Jika saya akan memberikan jalan yang sewenang-wenang, untuk mengubah semua hukum sesuai dengan kekuatan pedang, saya tidak perlu datang ke sini. Karena itu saya katakan kepada Anda bahwa saya adalah martir rakyat.”
Bagi banyak orang, Charles I dipandang sebagai seorang martir. Hingga hari ini, orang-orang meletakkan karangan bunga di patungnya pada peringatan kematiannya.
Eksekusinya mendorong kepemimpinan 'Lord Protector' Oliver Cromwell. Ini menandai satu-satunya periode waktu Inggris tanpa seorang raja.
Charles II, 1660-1685
Sampai hari ini, Raja Charles II dikenang sebagai raja yang ceria karena gaya hidupnya yang mewah. Lahir pada tahun 1630 di Istana St James, dia mendukung ayahnya selama perang saudara yang sulit.
Charles II melakukan upaya keras untuk menyelamatkan sang ayah sebelum dieksekusi. Ayahnya adalah Charles I.
Setelah kematian ayahnya pada tahun 1649, dia menghabiskan lebih dari satu dekade di pengasingan. Selama periode ini, Oliver Cromwell memerintah selama 5 tahun, sebelum ia akhirnya meninggal pada tahun 1658.
Oliver Cromwell digantikan oleh putranya, Richard Cromwell. Ia memerintah dari tahun 1658 hingga 1659. Namun sayangnya, Cromwell tidak memiliki kualitas kepemimpinan dan segera mengundurkan diri.
Seperti ayahnya, Raja Charles II juga memiliki gagap. Namun ia sangat disukai oleh rakyat, menawan dalam tingkah lakunya, berpakaian tanpa cela dan penuh energi.
Sebagai puritan, keluarga Cromwell melarang hari libur dan pesta umum. Tentu saja, itu merupakan keputusan yang sangat tidak populer di kalangan masyarakat Inggris.
Baca Juga: Bintang Afrika, Berlian Kontroversial di Tongkat Kerajaan Charles III
Baca Juga: Enam Bangunan Bersejarah Inggris, ada Gereja Penobatan Charles III
Baca Juga: Benda-Benda Penting yang Digunakan dalam Penobatan Raja Charles III
Baca Juga: Analisis Batu Takdir yang Digunakan dalam Penobatan Charles III
Pemerintahan Raja Charles II menandai era baru kesembronoan, pesta, dan hedonisme. Tahun-tahun awalnya menjadi tontonan publik, memenangkan hati bangsawan dan rakyat jelata, serta mengadakan pesta-pesta mewah.
Pada tahun 1662, Charles II menikahi Catherine dari Braganza. Namun pernikahan itu tidak bergairah. Pasalnya, pasangan itu tidak berbicara bahasa yang sama dan raja memiliki banyak wanita simpanan.
Wanita-wanita itu termasuk para anggota aristokrasi Inggris dan Prancis. “Juga aktris panggung London, seperti Nell Gwyn dan Moll Davis,” imbuh Leake.
Pada akhir hidupnya, dia diketahui telah menjadi ayah dari beberapa anak tidak sah—meskipun dia sendiri tidak memiliki anak yang sah. Charles II adalah raja saat peristiwa Wabah Besar tahun 1665 dan Kebakaran Besar London tahun 1666 terjadi.
Pada tahun 1685, Charles II menderita penyakit stroke dan meninggal pada usia 54 tahun. Ia digantikan oleh saudaranya James. James kemudian memerintah di Inggris dan Irlandia sebagai James II dan di Skotlandia sebagai James VII dari tahun 1685-1688.
Benarkah nama Charles membawa kutukan bagi para raja di Inggris? Seperti yang kita tahu, Raja Charles III harus menunggu selama 59 tahun untuk menduduki takhta Kerajaan Inggris. Melihat sejarah, tidak heran jika para pakar kerajaan mempertanyakan pemilihan nama raja baru Kerajaan Inggris itu.