Kisah Hidup Saigo Takamori, Samurai Terakhir di Kekaisaran Jepang

By Sysilia Tanhati, Senin, 29 Mei 2023 | 07:00 WIB
Saigo Takamori dikenal sebagai samurai terakhir dari Kekaisaran Jepang. Kini, ia menjadi simbol samurai di bagi bangsa Jepang di zaman modern. (Ishikawa Shizumasa)

Nationalgeographic.co.id—Saigo Takamori dikenal sebagai samurai terakhir di Kekaisaran Jepang. Hidup dari tahun 1828 hingga 1877, Takamori dikenang sebagai lambang bushido, kode etik samurai. Meskipun sebagian besar sejarahnya telah hilang, sejarawan menggali lebih banyak tentang kehidupan pejuang dan diplomat termasyhur ini.

Kehidupan awal Saigo Takamori, samurai terakhir Kekaisaran Jepang

Saigo Takamori lahir pada tanggal 23 Januari 1828, di Kagoshima, ibu kota Satsuma, anak tertua dari tujuh bersaudara. “Ayahnya, Saigo Kichibei, adalah seorang pejabat pajak samurai berpangkat rendah,” tulis Kallie Szczepanski di laman Thoughtco.

Takamori dan saudara-saudaranya berbagi satu selimut di malam hari. Orang tua Takamori juga harus meminjam uang untuk membeli tanah pertanian agar memiliki cukup makanan untuk keluarga. Kehidupan seperti ini menanamkan soal harga diri, hemat, dan kehormatan pada diri Saigo Takamori.

Pada usia 6 tahun, Saigo Takamori mulai belajar di goju—atau sekolah dasar samurai. Di sana, ia mendapatkan wakizashi pertamanya, pedang pendek yang digunakan oleh prajurit samurai. Dia lebih unggul sebagai seorang sarjana alih-alih seorang pejuang. Saigo muda banyak membaca sebelum dia lulus dari sekolah pada usia 14 tahun. Ia pun secara resmi diperkenalkan ke Satsuma pada tahun 1841.

3 tahun kemudian, dia mulai bekerja di birokrasi lokal sebagai penasihat pertanian. Saigo menjalani perjodohan dengan Ijuin Suga yang berusia 23 tahun pada tahun 1852. Tidak lama setelah pernikahan, kedua orang tua Saigo meninggal. Mereka meninggalkan Saigo sebagai kepala keluarga beranggotakan 12 orang. Penghasilannya kecil digunakan untuk menghidupi mereka.

Politik di Edo

Tak lama kemudian, Saigo dipromosikan menjadi pelayan daimyo pada tahun 1854. Tugasnya menemani tuannya ke Edo, berjalan sejauh 1.440 km ke ibu kota shogun. Saigo menjadi mata-mata tidak resmi yang penuh rasa percaya diri diri.

Tak lama kemudian, Saigo menjadi penasihat terdekat Daimyo Shimazu Nariakira. Nariakira dan sekutunya berusaha untuk meningkatkan kekuasaan kaisar dengan mengorbankan shogun. Namun pada tanggal 15 Juli 1858, Shimazu meninggal mendadak, kemungkinan karena racun.

Seperti tradisi samurai pada saat kematian tuan mereka, Saigo mempertimbangkan untuk menemani Shimazu sampai mati. Saat itu, biksu Gessho meyakinkannya untuk hidup dan melanjutkan pekerjaan politiknya untuk menghormati kenangan akan Nariakira.

Namun, shogun mulai membersihkan politisi pro-kekaisaran, memaksa Gessho untuk meminta bantuan Saigo untuk melarikan diri ke Kagoshima. Di sana daimyo Satsuma yang baru menolak untuk melindungi pasangan tersebut dari pejabat shogun. Alih-alih menghadapi penangkapan, Gessho dan Saigo melompat dari perahu kecil ke Teluk Kagoshima. Meski berhasil ditarik keluar dari air, Gessho tidak bisa diselamatkan.

Samurai terakhir di pengasingan

Orang-orang shogun masih memburunya, jadi Saigo pergi ke pengasingan internal selama 3 tahun di pulau kecil Amami Oshima. Dia mengubah namanya menjadi Saigo Sasuke dan pemerintah wilayah menyatakan dia mati. Loyalis kekaisaran lainnya menulis kepadanya untuk meminta nasihat tentang politik. Jadi meskipun diasingkan dan berstatus mati secara resmi, dia terus memberikan pengaruh di Kyoto.

Patung Saigo Takamori di Ueno Park. Namun, setelah pensiun, Saigo hanya ingin bermain dengan anak-anaknya, berburu, dan pergi memancing. (Takamura Koun)

Pada tahun 1861, Saigo terintegrasi dengan baik ke dalam komunitas lokal. Beberapa anak telah mendesaknya untuk menjadi guru mereka. Ia bak “raksasa” baik hati dan menurut. Di sana, Saigo juga menikahi seorang wanita lokal bernama Aigana dan menjadi ayah dari seorang putra. Dia dengan senang hati menetap dalam kehidupan pulau yang damai.

Namun sayangnya, beberapa tahun kemudian saigo harus meninggalkan pulau itu. Pada bulan Februari 1862, ia dipanggil kembali ke Satsuma.

Meskipun memiliki hubungan yang sulit dengan daimyo baru Satsuma, Hisamitsu, Saigo segera kembali terlibat. Dia pergi ke istana Kaisar di Kyoto pada bulan Maret dan kagum bertemu samurai dari wilayah lain yang memperlakukannya dengan hormat karena membela Gessho.

Pengorganisasian politiknya bertentangan dengan daimyo baru. Hal itu membuatnya ditangkap dan dibuang ke pulau kecil yang berbeda hanya 4 bulan setelah dia kembali dari Amami.

Saigo semakin terbiasa dengan pulau kedua ketika dia dipindahkan ke pulau hukuman terpencil lebih jauh. Satu tahun berlalu, Saigo kembali ke Satsuma. Hanya 4 hari setelah dia kembali, Hisamitsu mengangkatnya menjadi komandan pasukan Satsuma di Kyoto.

Kembali ke ibu kota

Di ibu kota Kekaisaran Jepang, politik telah berubah secara signifikan selama pengasingan Saigo. Pro-kaisar daimyo dan radikal menyerukan diakhirinya keshogunan dan pengusiran semua orang asing. Mereka melihat Kekaisaran Jepang sebagai tempat tinggal para dewa. Kaisar adalah keturunan dari Dewi Matahari dan langit akan melindungi mereka dari kekuatan militer dan ekonomi barat.

Saigo mendukung peran yang lebih kuat untuk kaisar tetapi tidak mempercayai retorika milenial yang lain. Pemberontakan skala kecil pecah di sekitar Jepang dan pasukan shogun terbukti tidak mampu menghentikan pemberontakan.

Rezim Tokugawa runtuh. Saat itu Saigo tidak pernah membayangkan jika Kekaisaran Jepang di masa depan mungkin tidak menyertakan seorang shogun. Baginya, hal itu mustahil sebab shogun telah memerintah Kekaisaran Jepang selama 800 tahun.

Sebagai komandan pasukan Satsuma, Saigo memimpin ekspedisi hukuman tahun 1864 melawan Choshu. Bersama dengan pasukan dari Aizu, pasukan besar Saigo berbaris di Choshu. Di sana dia merundingkan penyelesaian damai alih-alih melancarkan serangan. Nantinya ini akan menjadi keputusan penting karena Choshu adalah sekutu utama Satsuma dalam Perang Boshin.

Kemenangan Saigo yang hampir tanpa darah membuatnya terkenal secara nasional. Ini membuatnya diangkat sebagai sesepuh Satsuma pada bulan September 1866.

Kejatuhan shogun di Kekaisaran Jepang

Pada saat yang sama, pemerintahan shogun di Edo semakin tirani, berusaha mempertahankan kekuasaan. Terikat oleh ketidaksukaan mereka terhadap keshogunan, Choshu dan Satsuma secara bertahap membentuk aliansi.

Pada tanggal 25 Desember 1866, Kaisar Komei yang berusia 35 tahun meninggal mendadak. Dia digantikan oleh putranya yang berusia 15 tahun, Mutsuhito. “Mutsuhito kemudian dikenal sebagai Kaisar Meiji,” tambah Szczepanski.

Pertempuran berlangsung dengan shogun menyerah kepada Saigo. Meski menjadi pemenang, Saigo memperlakukan mereka dengan adil. Ini membuatnya dipandang sebagai simbol kebajikan samurai.

Membentuk pemerintahan Meiji di Kekaisaran Jepang

Setelah Perang Boshin, Saigo pensiun untuk berburu, memancing, dan berendam di mata air panas. Namun, seperti saat-saat lain dalam hidupnya, masa pensiunnya berumur pendek. Di bulan Januari 1869, daimyo Satsuma mengangkatnya menjadi penasihat pemerintah wilayah.

Selama 2 tahun berikutnya, pemerintah merebut tanah dari samurai elite dan mendistribusikan kembali keuntungan kepada prajurit berpangkat lebih rendah. Itu mulai mempromosikan pejabat samurai berdasarkan bakat, bukan pangkat, dan juga mendorong perkembangan industri modern.

Namun, di Satsuma dan seluruh Jepang, tidak jelas apakah reformasi seperti ini sudah cukup. Atau apakah seluruh sistem sosial dan politik akan mengalami perubahan revolusioner. Ternyata pemerintahan kaisar di Tokyo menginginkan sistem baru yang tersentralisasi. Bukan sekadar kumpulan wilayah yang mengatur diri sendiri dan lebih efisien.

Untuk memusatkan kekuatan, Tokyo membutuhkan militer nasional alih-alih mengandalkan penguasa wilayan untuk memasok pasukan. Pada bulan April 1871, Saigo dibujuk untuk kembali ke Tokyo untuk mengatur tentara nasional yang baru.

Dengan adanya pasukan, pemerintah Meiji memanggil daimyo yang tersisa ke Tokyo pada pertengahan Juli 1871. Namun pemerintah kemudian mengumumkan bahwa wilayah tersebut dibubarkan dan otoritas penguasa dihapuskan. Daimyo Saigo sendiri adalah satu-satunya yang secara terbuka mencela keputusan tersebut. Pada tahun 1873, pemerintah pusat mulai mewajibkan rakyat jelata sebagai tentara, menggantikan samurai.

Samurai terakhir yang tidak bisa menikmati masa pensiun

Saigo Takamori telah memimpin reformasi Meiji termasuk pembentukan tentara wajib militer dan berakhirnya pemerintahan daimyo. Namun, samurai yang tidak puas di Satsuma memandangnya sebagai simbol kebajikan tradisional. Mereka ingin dia memimpin untuk melawan pemerintahan Meiji.

Namun, setelah pensiun, Saigo hanya ingin bermain dengan anak-anaknya, berburu, dan pergi memancing. Dia menderita angina dan juga filariasis. Saigo menghabiskan banyak waktu berendam di mata air panas dan dengan keras menghindari politik.

Proyek pensiun Saigo adalah Shigakko, sekolah untuk samurai Satsuma muda tempat para siswa mempelajari infanteri, artileri, dan konfusianisme. Dia mendanai tetapi tidak terlibat langsung dengan sekolah. Karena tidak pernah terjun dalam pengajaran, ia tidak sadar bahwa para siswa menjadi radikal terhadap pemerintah Meiji.

Penentangan ini mencapai titik didih pada tahun 1876 ketika pemerintah pusat melarang samurai membawa pedang. Di saat yang sama, pemerintah juga berhenti membayar gaji para samurai.

Pemberontakan Satsuma

Dengan mengakhiri hak istimewa kelas samurai, pemerintah Meiji pada dasarnya telah menghapuskan identitas mereka. Pemberontakan skala kecil meletus di seluruh Kekaisaran Jepang.

Saigo diam-diam mendukung para pemberontak di provinsi lain, tetapi tetap tinggal di rumah pedesaannya. Ia khawatir bila ia kembali Kagoshima, tindakannya itu akan memicu pemberontakan lagi. Saat ketegangan meningkat, pada Januari 1877, pemerintah pusat mengirimkan sebuah kapal untuk merebut gudang amunisi dari Kagoshima.

Para siswa Shigakko mendengar bahwa kapal Meiji akan datang dan mengosongkan gudang senjata sebelum tiba. Selama beberapa malam berikutnya, mereka menggerebek persenjataan tambahan di sekitar Kagoshima.

Para siswa juga mencuri senjata dan amunisi. Yang lebih buruk lagi, mereka menemukan bahwa polisi nasional telah mengirim sejumlah penduduk asli Satsuma ke Shigakko sebagai mata-mata pemerintah pusat. Pemimpin mata-mata mengaku di bawah siksaan bahwa dia seharusnya membunuh Saigo.

Bangkit dari pengasingannya, Saigo merasa bahwa pengkhianatan dan kejahatan dalam pemerintahan kekaisaran ini membutuhkan tanggapan. Dia tidak ingin memberontak, masih merasakan kesetiaan pribadi yang dalam kepada Kaisar Meiji.

Saigo mengumumkan pada 7 Februari bahwa dia akan pergi ke Tokyo untuk “mempertanyakan” pemerintah pusat. Murid-murid Shigakko berangkat bersamanya, membawa senapan, pistol, pedang, dan artileri. Secara keseluruhan, sekitar 12.000 orang Satsuma berbaris ke utara menuju Tokyo, memulai Pemberontakan Satsuma.

Kematian samurai terakhir

Pasukan Saigo berbaris dengan percaya diri, yakin bahwa samurai di provinsi lain akan mendukung mereka. Faktanya, mereka menghadapi 45.000 tentara kekaisaran dengan akses ke persediaan amunisi yang tidak terbatas.

Momentum pemberontak segera terhenti ketika mereka melakukan pengepungan selama berbulan-bulan di Kastil Kumamoto. Saat pengepungan berlanjut, para pemberontak kehabisan amunisi, mendorong mereka untuk beralih kembali ke pedang mereka. Saigo segera mencatat bahwa dia telah jatuh ke dalam perangkap mereka.

Sebuah monumen untuk mengenang Saigo Takamori dibangun di Kagoshima. Di tempat ini, Saigo meninggal dan temannya memenggal kepalanya agar tidak diambil oleh pasukan musuh. (Doricono )

Pada bulan Maret, Saigo menyadari bahwa pemberontakannya akan berakhir. Tapi itu tidak mengganggunya. Justru Saigo menyambut baik kesempatan untuk mati demi prinsipnya. Pada bulan Mei, tentara pemberontak mundur ke selatan, dengan tentara kekaisaran menjemput mereka naik turun Kyushu sampai September 1877.

Pada tanggal 1 September, Saigo dan 300 anak buahnya yang selamat pindah ke gunung Shiroyama. Pada tanggal 24 September 1877, pada pukul 3.45 pagi, tentara Kekaisaran Jepang melancarkan serangan terakhirnya. Ini dikenal sebagai Pertempuran Shiroyama.

Saigo ditembak melalui tulang paha dalam upaya bunuh diri terakhir. Salah satu temannya memenggal kepalanya dan menyembunyikannya dari pasukan kekaisaran untuk menjaga kehormatannya.

Meskipun semua pemberontak terbunuh, pasukan kekaisaran berhasil menemukan kepala Saigo yang terkubur. Cetakan ukiran kayu kemudian menggambarkan pemimpin pemberontak berlutut untuk melakukan seppuku tradisional. Tetapi itu tidak mungkin terjadi karena filariasis dan kakinya yang patah.

Warisan Saigo bagi Jepang modern

Saigo Takamori membantu mengantarkan era modern di Jepang. Ia menjabat sebagai salah satu dari tiga pejabat paling kuat di awal pemerintahan Meiji. Namun, dia tidak pernah bisa mendamaikan kecintaannya pada tradisi samurai dengan tuntutan modernisasi bangsa.

Pada akhirnya, dia dibunuh oleh tentara Kekaisaran Jepang yang dia bantu semasa hidupnya. Hingga kini, Saigo Takamori tetap dihormati oleh bangsa Jepang.