Mendobrak Kuasa Tradisonal: Sejarah Keakraban Mataram dan VOC

By Galih Pranata, Sabtu, 20 Mei 2023 | 10:00 WIB
Ilustrasi kapal VOC yang menjadi bukti sejarah terjalinnya keakraban antara Mataram dan VOC. (indonesia.go.id)

Nationalgeographic.co.id—Menilik megah dan berkembangnya kota-kota pelabuhan di Jawa zaman Hindia Belanda, tak lepas dari adanya sejarah keakraban dua penguasa pesisir Jawa: Mataram dan VOC.

Keakraban di antara kedua penguasa baru itu, pertama kali muncul tatkala Mataram berhasil meluaskan ekspansinya ke wilayah-wilayah pesisir Jawa, tak terkecuali Jepara. Jepara dan Kudus jatuh di tangan Panembahan Krapyak, sang raja Mataram.

Setelahnya, mulai muncul orang-orang Belanda yang berdatangan ke sana. Hal ini ditengarai adanya kabar angin yang berembus kepada VOC untuk mampir dan berdagang di Jepara. Sang Gubernur Jenderal, Pieter Both kala itu (1613) masih berada di Maluku.

Kabar itu bersambut tak lama berselang. Kapal-kapal nan gagah dengan bendera kebesaran VOC mulai bertengger di pelabuhan Jepara. Pieter Both menyandarkan kapalnya dan menginjakkan kaki pertama kali pada 22 September 1613.

Di sana, ia bertemu dengan penguasa lokal, raja (Gubernur, kemudian dikenal tumenggung) Jepara dan penguasa Kudus. Pieter Both telah mengetahui bahwa para raja di pesisir Jawa itu sudah jatuh dan berada di bawah kuasa Mataram.

Merekalah yang menyambut, dan mengiyakan panggilan VOC untuk menerima tawaran dari raja Mataram kala itu, Panembahan Krapyak. Sebuah tawaran lantas dilontarkan oleh gubernur Jepara.

Tawarannya berupa pembagian hasil dengan dimintanya VOC untuk mendirikan loji-loji di pelabuhan Jepara yang posisinya dinilai strategis. Pieter Both yang kala itu bersama dengan Jan Pieterszoon Coen menilai bahwa memang benar adanya. 

Terdapat keuntungan dalam penawaran Mataram, "lebih-lebih karena beras di daerah ini (Jepara) berlimpah-limpah," tulis H.J. De Graaf dalam bukunya Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung, terbitan 1986.

Kala itu, Jan Pieterszoon Coen muda masih menjabat sebagai Accountant-General bagi VOC. Berkat persetujuan antara Both dan Coen, akhirnya dibangunlah loji-loji Belanda yang kokoh di Jepara.

Diutuslah Kepala Perdagangan VOC (opperkoopman) bernama Lambert Dirckxz Hagen untuk menetap di sana. Diberikannya "uang sebesar 2.500 rial untuk membeli beras dan menyelidiki barang-barang untuk diperdagangkan," imbuhnya.

Demikianlah, hingga Jepara menjadi kantor dagang kedua VOC yang didirikan di tanah Jawa. Dari sini, Mataram menganggap VOC sejiwa dengannya. Mereka membangun keakraban dan berbagi untung dari perdagangan VOC.

Faktanya, sejarah keakraban kedua penguasa Jepara ini dibangun atas dasar bahwa mereka berupaya untuk mendobrak kekuasaan tradisional yang terdapat di pesisir Jawa, termasuk di Jepara.

"Keduanya merupakan pendatang baru (jika) dibandingkan dengan masyarakat (Jepara) yang sudah lama menetap di kawasan pesisir," terus De Graaf.

Berkat kedatangan dua penguasa baru, mereka secara praktis mendobrak kekuatan lama dan tradisional di sana. Namun, di satu sisi, rakyat pesisir merasa bangga.

Mereka memandang adanya pengaruh Mataram di sana, telah menarik silsilah moyang mereka yang dianggap berasal dari hegemoni Majapahit. Mereka kini punya penguasa yang menanamkan tradisi Islam modern.

Dengan dalih penerus kekuatan baru di tanah pesisir, di satu sisi, Mataram mengenakan tesis itu untuk dapat merangkul Belanda sebagai sesama pendatang baru.

Sang penguasa Mataram, Panembahan Krapyak memulai "politik luar negerinya dengan jalan mengadakan hubungan kekerabatan dengan orang-orang Belanda," ungkapnya.

Penambahan Krapyak tak hanya bersepakat dengan orang Belanda, tapi ia sudah membangun keakraban secara personal dengan orang-orang Eropa. Sebut saja Juan Pedro Italiano.

Ia merupakan seorang petualang Eropa (Italia) yang pada akhirnya menjadi utusan bagi urusan diplomasi penguasa Mataram dengan VOC. Juan Pedro juga dipercaya bahkan telah memeluk Islam.

Dalam sejarah kuasa istana raja-raja Timur, khususnya di Jawa, memiliki keakraban secara personal dengan orang-orang Eropa. Contoh lainnya, Anthonio Vissozo, seorang penasihat Eropa untuk raja tua di Istana Cirebon.

Tak hanya Mataram, atau raja-raja Jawa lainnya, di Madura juga demikian. Seorang Polandia bernama Toontje Poland, diutus oleh kerajaan Madura untuk menjadi seorang ajudan bagi Sultan Muda Madura.

Hal yang dilakukan Panembahan Krapyak sebagai raja Mataram sudah menjadi rahasia umum. Ia memulai sejarah keakraban dengan orang-orang Belanda dan Eropa sebagai bagian dari legitimasi kedigdayaan politiknya.

Namun, jalan takdir sang raja berakhir tragis. Ia ditemukan wafat pada saat melakukan perburuan di kawasan Krapyak. Inilah bagian sejarah yang kemudian membuatnya dikenal dengan sebutan "Panembahan Seda Ing Krapyak."

Orang-orang Eropa tengah mengantre menaiki perahu di Karimunjawa, Jepara. (KITLV)

Meski demikian, VOC melanjutkan misinya untuk menyulap Jepara menjadi kota pelabuhan yang megah. Jepara seketika dikenang dalam bingkai sejarah oleh Wouter Schouten, penulis berkebangsaan Belanda, sebagai kota pelabuhan yang menawan.

"Rumah-rumah dibangun dengan batu dan kapur, jalan, tembok, lapangan dan pemandangan di sekitarnya menarik. Menyenangkan sekali berkunjung ke sana," ungkap Schouten.

Baca Juga: Kala Kesultanan Cirebon Bernaung di Bawah VOC untuk Melawan Mataram

Baca Juga: Peraturan-Peraturan Aneh buat Orang Jawa dan Tionghoa di Batavia

Baca Juga: Linschoten, Kartografer Belanda yang Menentukan Takdir Nusantara

Wouter Schouten menulis dalam bukunya berjudul De Oost-Indische Voyagie van Wouter Schouten, jilid 1, yang diterbitkan oleh Walburg Pers pada tahun 2003. Berbagai keindahan lainnya, mendukung orang-orang Eropa yang datang ke pelabuhan.

"Tak hanya untuk berniaga, tetapi hanya sekadar berkunjung menikmati keindahan kota pelabuhan Jepara," terusnya. Pengaruh Islam yang dibawa Mataram juga mendorong dibuatnya masjid nan indah di sana.

"Pemandangan yang paling mencolok adalah masjid besar," tulisnya lagi. Terkadang karena fanatisme penduduk muslim Jepara untuk melindungi masjid, banyak pengunjung non-muslim yang dilarang masuk ke dalam masjid.

Keinginan besar orang Eropa yang penasaran untuk masuk ke dalam masjid, membuat mereka selalu berusaha mencari cara. "Orang Eropa datang dengan hadiahnya, mereka menyenangkan penduduk untuk bisa masuk ke masjid," pungkasnya.