Nationalgeographic.co.id—Para ronin Kekaisaran Jepang adalah sosok yang melegenda, namun sering kali disalahartikan secara luas. Para samurai yang mengembara dan terhina ini memiliki peranan utama dalam membentuk Kekaisaran Jepang pada abad pertengahan.
Secara harfiah ronin dapat diartikan sebagai pengembara. Dalam pengertian lain, ronin adalah mantan samurai yang telah menjadi tak bertuan karena suatu hal.
“Dalam budaya Jepang, samurai setara dengan ksatria Eropa,” jelas Dani Rhys, pada laman Symbolsage. “Inti dari kekuatan militer berbagai penguasa regional Jepang, samurai disumpah kepada tuan mereka dari awal hingga akhir masa pengabdian mereka.”
Seperti halnya ksatria Eropa, saat daimyo samurai (alias penguasa feodal) meninggal atau membebaskan mereka dari pelayanannya, samurai menjadi tidak memiliki tuan.
Untuk sebagian besar sejarah Kekaisaran Jepang, terutama selama Periode Sengoku (abad ke-15 hingga ke-17), hal ini tidak terlalu bermasalah.
Menurut Rhys, para samurai diizinkan untuk mencari pekerjaan di tempat lain. Bahkan mereka dapat memilih profesi yang berbeda, seperti menjadi penjaga, petani, pedagang, atau apa pun.
Namun, selama Periode Edo (awal abad ke-17 hingga akhir abad ke-19), sistem kelas Keshogunan menjadi jauh lebih kaku.
“Ini berarti bahwa jika seorang samurai kehilangan tuannya, dia tidak bisa begitu saja menjadi petani atau pedagang,” jelas Rhys.
Selain itu, Rhys menerangkan, bahwa aturan Bushido pada kala itu tidak lagi mengizinkan ronin untuk mencari pekerjaan dari penguasa lainnya.
Satu-satunya tindakan yang dapat diterima menurut Bushido adalah para samurai melakukan seppuku, yaitu sebuah ritual pengorbanan. Juga disebut harakiri (memotong perut) menggunakan pedang berukuran pendek: tanto.
Idealnya, seorang samurai lain akan berdiri di belakang samurai yang tidak menguasai teknik harakiri. Dengan pedang yang lebih panjang (tachi atau katana), ia membantu ritual harakiri.
Tentu saja, banyak samurai yang tidak memiliki tuan memilih untuk menghindari nasib ini dan menjadi ronin. Para ronin ini biasanya menjadi tentara bayaran, pengawal, orang buangan, atau hanya berkelompok dalam gerombolan penjahat yang berkelana.
Mengapa Begitu Banyak Samurai Menjadi Ronin?
Titik balik bagi banyak samurai yang tidak memiliki tuan dimulai pada pergantian abad ke-17–antara periode Sengoku dan Edo. Lebih tepatnya, hal ini disebabkan oleh Toyotomi Hideyoshi.
Toyotomi berasal dari keluarga petani yang mengabdi pada Oda Nobunaga, seorang daimyo terkemuka pada masa itu. Ia hidup dari tahun 1537 hingga 1598 Masehi.
Nobunaga sendiri telah memulai operasi besar-besaran untuk menyatukan para daimyo lain di Jepang di bawah kekuasaannya ketika Toyotomi Hideyoshi masih menjadi pelayannya.
Pada akhirnya, Toyotomi naik pangkat menjadi seorang samurai dan menjadi penerus Nobunaga. Ia kemudian melanjutkan operasi daimyo dan berhasil menyatukan seluruh Jepang di bawah kekuasaannya. Operasi penaklukan inilah yang menutup zaman Sengoku dan memulai zaman Edo.
Meskipun sangat penting dan bisa dibilang sangat berpengaruh dalam sejarah Jepang, Menurut Rhys, peristiwa ini juga menandai masa-masa kelam bagi banyak samurai.
“Karena Jepang sekarang telah bersatu, permintaan akan tentara baru oleh banyak daimyo daerah menurun drastis,” jelas Rhys.
Meskipun demikian, sejarah Kekaisaran Jepang mencatat beberapa ratus ribu ronin telah bergabung dengan samurai Toyotomi Hideyori (putra dan penerus Toyotomi Hideyoshi) pada pengepungan Osaka pada tahun 1614. Namun tak lama setelah itu, para samurai yang tidak memiliki keahlian tidak dapat menemukan pekerjaan di mana pun.
Rhys menyebutkan, bahwa selama pemerintahan Tokugawa Iemitsu (1604 hingga 1651), sebanyak setengah juta ronin berkeliaran di Jepang. Beberapa di antaranya menjadi petani di daerah terpencil dan desa-desa, “tetapi banyak juga yang menjadi penjahat.”
Kisah 47 Ronin
Ada beberapa ronin yang terkenal baik dalam sejarah Kekaisaran Jepang maupun dalam budaya pop. Kyokutei Bakin, misalnya, adalah seorang ronin dan novelis terkenal.
Kemudian ada Sakamoto Ryōma yang berperang melawan Keshogunan Tokugawa dan menganjurkan demokrasi atas monarki Keshogunan. Dan masih terdapat beberapa nama ronin yang menarik untuk diulas.
Kisah yang paling banyak dikenal masyarakat dunia adalah 47 ronin. Ke-47 prajurit ini mengambil bagian dalam peristiwa yang dikenal sebagai Insiden Akō atau Perjanjian Akō.
Peristiwa terkenal ini terjadi pada abad ke-18, yaitu setelah berakhirnya sebagian besar kasta ronin secara de facto. Dengan kata lain, 47 ronin ini sudah menjadi yang terakhir dari kasta mereka. Inilah yang semakin menambah drama peristiwa tersebut.
Ke-47 samurai ini menjadi ronin setelah daimyo mereka, Asano Naganori, dipaksa untuk melakukan seppuku. Hal ini terpaksa dilakukan karena ia telah menyerang seorang pejabat tinggi istana bernama Kira Yoshinaka.
“Alih-alih melakukan seppuku seperti yang diperintahkan oleh hukum Bushido, ke-47 ronin tersebut bersumpah untuk membalas dendam atas kematian guru mereka,” terang Rhys.
Ke-47 prajurit menunggu dan merencanakan selama sekitar satu tahun sebelum akhirnya melancarkan serangan terhadap Kira dan membunuhnya. Setelah itu, ke-47 orang tersebut melakukan seppuku sesuai dengan Bushido atas pembunuhan yang telah mereka lakukan.
Kisah 47 ronin telah menjadi legenda selama berabad-abad di Kekaisaran Jepang, dan telah diabadikan oleh banyak novelis, penulis naskah, dan sutradara film.
“Ini hanyalah salah satu dari tiga kisah balas dendam adauchi yang terkenal di Jepang, bersama dengan Igagoe Vendetta dan Pembalasan Dendam Soga Bersaudara,” kata Rhys.