Alasan Tradisi Kekaisaran Jepang Melarang Wanita untuk Naik Takhta

By Sysilia Tanhati, Minggu, 21 Mei 2023 | 15:00 WIB
Sejak Restorasi Meiji tahun 1868 di Kekaisaran Jepang, sistem pemerintahan didominasi oleh laki-laki. Sejak itu, wanita tidak bisa menjadi seorang kaisar dan menduduki Takhta Krisan. (Ministry of Foreign Affairs of Japan)

Setelah Restorasi Meiji tahun 1868 menggulingkan sistem feodal, kelas penguasa baru Jepang mulai beralih ke Eropa dan Amerika Serikat. Itu dilakukan untuk reformasi. Pemerintah berharap untuk menjadikan Jepang sebagai kekuatan sambil memperkuat kekuatan tradisional kekaisaran.

Menurut sejarah, Kaisar Suiko menjadi penguasa wanita pertama Kekaisaran Jepang 1.400 tahun. Ia mengisi Takhta Krisan pada tahun 592 Masehi dan memerintah selama 35 tahun. (Tosa Mitsuyoshi/ Eifuku-ji Temple)

Politisi Ito Hirobumi mempelajari berbagai sistem politik sebelum menetapkan konstitusi Prusia tahun 1850 sebagai model. Orang Jepang merekrut seorang sarjana hukum Jerman, Hermann Roesler, untuk membantu menyusun sistem serupa.

Prusia adalah model pemerintahan yang konservatif. Raja memiliki kekuasaan yang cukup besar. Ahli waris wanita menjadi upaya paling akhir jika sudah tidak ada jalan keluar.

Para ahli hukum berpendapat bahwa itu tepat karena konstitusi Jepang yang baru menjadikan kaisar sebagai kepala militer negara.

Konstitusi Meiji 1889 berikutnya meresmikan sistem pemerintahan yang didominasi laki-laki ini. Undang-undang Rumah Tangga Kekaisaran menjelaskan bahwa ahli waris laki-laki diberi prioritas di atas ahli waris wanita dalam sistem senioritas.

Perubahan kekuasaan Kekaisaran Jepang setelah Perang Dunia II

Ironisnya, sistem Prusia tidak bertahan lama. Setelah naik tahta pada tahun 1888, William II adalah Raja Prusia terakhir dan Kaisar Jerman terakhir. Ia turun takhta setelah kekalahan Jerman dalam Perang Dunia I.

Dan setelah kekalahannya dalam Perang Dunia II, Kekaisaran Jepang menulis ulang konstitusinya dan menghapus sebagian besar kekuasaan kaisar. Ini menjadikan posisi Kaisar Jepang hampir seluruhnya bersifat seremonial. “Sistem ini lebih mirip model monarki Inggris,” tambah Taylor.

Hukum Rumah Tangga Kekaisaran yang ditulis ulang membuat perubahan signifikan pada keluarga Kekaisaran Jepang. Hukum itu khususnya membatasi ukuran keluarga kekaisaran, tetapi tetap mempertahankan aturan tentang suksesi laki-laki.

Praktik poligami untuk menambah ahli waris laki-laki, mungkinkah?