Alasan Tradisi Kekaisaran Jepang Melarang Wanita untuk Naik Takhta

By Sysilia Tanhati, Minggu, 21 Mei 2023 | 15:00 WIB
Sejak Restorasi Meiji tahun 1868 di Kekaisaran Jepang, sistem pemerintahan didominasi oleh laki-laki. Sejak itu, wanita tidak bisa menjadi seorang kaisar dan menduduki Takhta Krisan. (Ministry of Foreign Affairs of Japan)

Kekaisaran Jepang bukan satu-satunya monarki yang masih menyukai bangsawan laki-laki. Banyak keluarga kerajaan Teluk Persia seperti Arab Saudi yang mempertahankan sistem serupa. Namun, banyak dari kerajaan tersebut yang memiliki keluarga kerajaan yang besar. Itu disebabkan karena praktik poligami, sebuah praktik yang tidak disukai di Jepang selama era Meiji.

Selama periode diskusi tentang sistem suksesi pada tahun 2005, sepupu kaisar memperdebatkan kembali ke sistem selir. Ini untuk memastikan ahli waris laki-laki.

“Menggunakan selir, seperti dulu, adalah salah satu pilihan,” tulis Pangeran Tomohito dalam surat pribadi. “Saya setuju, tapi ini mungkin agak sulit mengingat iklim sosial di dalam dan di luar negeri.”

Apakah akhirnya seorang kaisar wanita akan memimpin Kekaisaran Jepang di masa depan?

Memang, jajak pendapat menunjukkan bahwa banyak warga Jepang lebih suka membiarkan keluarga Kekaisaran Jepang dipimpin oleh seorang wanita. 68 persen masyarakat mendukung, menurut jajak pendapat tahun 2017 oleh surat kabar Mainichi Shimbun.

Dan meskipun mereka umumnya diam tentang isu-isu politik, tampaknya beberapa keluarga Kekaisaran Jepang juga terbuka untuk itu. Bahkan pada tahun 2002, Putri Takamatsu yang berusia 92 tahun menulis di majalah wanita. Menurutnya, jika bangsawan wanita muda akhirnya naik takhta, itu bukanlah sesuatu yang akan dilihat sebagai hal yang tidak wajar.

Akankah kita menjadi saksi sejarah seorang kaisar wanita di Jepang di masa yang akan datang?