Apakah Mitologi Yunani Telah Memperingatkan Kita Tentang Robot?

By Tri Wahyu Prasetyo, Selasa, 23 Mei 2023 | 11:00 WIB
Melalui sebuah mitologi, Yunani Kuno sejak lama telah mengisahkan kepada kita tentang 'robot pelayan manusia'. (thecollector)

Nationalgeographic.co.id—Apakah Anda salah satu orang yang khawatir dengan keberadaan AI (kecerdasan buatan)? “Jika iya, mungkin anda dapat menyalahkan mitologi Yunani Kuno,” tulis Marialena Perpiraki, pada laman The Collector.

Platform-platform seperti DALL-E dan ChatGPT, dapat membantu upaya kreatif setiap orang saat ini. Beberapa tahun yang lalu, sebuah lukisan karya AI dilelang dengan harga lebih dari enam miliar rupiah.

Pada saat yang sama, para peneliti telah menawarkan kerangka kerja konseptual untuk mempekerjakan robot dalam pekerjaan layanan pelanggan.

Menurut sebuah studi McKinsey, kecerdasan buatan dapat menggantikan sekitar 15% pekerja, atau 400 juta orang, di seluruh dunia antara tahun 2016 dan 2030. Dalam skenario adopsi AI yang luas, pangsa pekerjaan yang dipindahkan dapat meningkat hingga 30%.

Lantas, bagaimana Yunani Kuno mengisahkan robot humanoid, apakah ia menjadi sebuah alat yang membantu manusia atau justru suatu bencana?

Mitologi Yunani dan Robot

Kembalinya Hephaestos, 535-515 SM. (Museum Kunsthistorisches, Wina)

Orang Yunani kuno tidak merasa khawatir dengan robot humanoid yang akan mengambil alih pekerjaan mereka. 

Meskipun demikian, mitos mereka sering kali menyinggung masalah manusia yang menjadi pencipta. Tepatnya, pencipta makhluk yang cerdas namun tidak berjiwa.

Marialena menerangkan, orang-orang Yunani Kuno tidak menyebutnya dengan kata “robot”- istilah ini baru muncul pada tahun 1921 oleh penulis Karel Capek. Namun, mereka menggambarkan penggunaan manusia buatan sebagai pelayan bagi umat manusia.

Dalam mitologi Yunani, Hephaestus—dewa tempa, api, dan kerajinan—dilaporkan telah membuat "pelayan-pelayan yang ditempa dari emas dan menyerupai pelayan yang hidup", seperti yang digambarkan oleh Homer dalam Iliad (18.415-19).

“Sama seperti robot-robot dalam drama R.U.R. karya Karel Capek (1921), para pelayan wanita ini ada untuk membantu dan melayani,” terang Marialena.

Perbedaan utama antara gadis-gadis emas Hephaestus dan robot-robot dalam R.U.R. adalah bahwa yang pertama diciptakan oleh dewa, “sementara yang kedua diciptakan oleh manusia untuk membuktikan ‘absurditas Tuhan’”.

Poster R.U.R. untuk film di televisi Amerika Serikat yang berdurasi 35 menit pada 11 February 1938. Keterangan penjelas pada poster: Kemajuan teknologi, dalam bentuk Robot Universal Rossum, mengancam akan memusnahkan umat manusia. (IMDb)

Bukanlah hal sulit untuk membayangkan bahwa penciptaan robot oleh manusia, seperti yang kita ketahui dari drama Čapek, tidak memiliki akhir yang bahagia. Robot-robot itu memberontak dengan tujuan memusnahkan manusia–sebuah konsep yang sering kita lihat dalam budaya populer.

R.U.R sering dianggap sebagai cerita pertama yang membangkitkan rasa takut terhadap robot. Namun, Capek bukanlah orang pertama yang memperingatkan kita tentang ancaman robot.

“Konsep manusia yang menantang para dewa dengan kemajuan mereka, dan bagaimana mereka dihukum karena hal ini, sudah menjadi bagian dari pemikiran Yunani kuno,” jelas Marialena.

Menurutnya, Mitos Pandora, Pygmalion, dan Talos adalah contoh yang tepat. Ketiga mitos ini mungkin dapat memberi kita gambaran sekilas tentang bagaimana orang Yunani kuno memandang potensi penggunaan robot dalam kehidupan sehari-hari. 

Mitos Pandora Yunani Kuno

(Public Domain/ Wikimedia Commons)

Dalam mitos Pandora, para dewa Gunung Olympus membalas dendam kepada manusia dan Prometheus. Hukuman itu ditawarkan dalam bentuk hadiah.

Mereka menawarkan seorang wanita buatan kepada Epimetheus, saudara Prometheus, untuk menjadi istrinya. Ia adalah seorang humanoid canggih yang dimaksudkan untuk membantu umat manusia menjadi makmur.

Namun, Pandora akhirnya melakukan kesalahan yang membawa kekacauan ke alam semesta: ia membuka kotak (atau guci, tepatnya!) berisi semua kejahatan.

“Mungkinkah orang Yunani kuno mencoba memperingatkan kita tentang bahaya menjadi pencipta AI?” sebut Marialena.

Memang ada banyak cara untuk menafsirkan mitos Pandora. Marialena menjelaskan, ia adalah sosok arketipe yang sering dianalisis dalam studi gender dan agama. 

Namun, kisah Pandora adalah salah satu dari sekian banyak mitos Yunani kuno yang mungkin “dapat mengungkapkan ketakutan kita akan kekuatan kita sendiri.”

Mitos Talos Yunani Kuno

(Museum Nasional Arkeologi Jatta)

Mungkin robot Yunani kuno yang paling terkenal–yaitu, mesin yang beroperasi sendiri–tidak lain adalah Talos. Robot Yunani kuno ini disebutkan dalam berbagai sumber, mulai dari Argonautica karya Apollonius dari Rhodes hingga Works and Days karya Hesiod.

Sama seperti Pandora, menurut Marialena Talos diciptakan oleh dewa Hephaestus untuk melindungi pulau Kreta dari penjajah.

“Robot ini akan berpatroli di pesisir pulau, melemparkan batu-batu besar ke kapal mana pun yang datang terlalu dekat,” jelasnya.

Ia juga dikatakan dapat berlari dengan kecepatan tinggi. Hal ini memungkinkannya mengelilingi pulau tersebut tiga kali sehari untuk memastikan keamanannya.

Menurut salah satu versi mitos, Talos dikalahkan oleh para Argonaut. Mereka berlayar ke Kreta dengan bantuan Medea, seorang penyihir dan istri dari pemimpin kapal, Jason. Medea meyakinkan Talos untuk mencabut paku yang menahan pergelangan kakinya, menyebabkan ia kehabisan darah dan mati.

Sang robot tidak memiliki darah manusia, melainkan zat lain yang dikenal sebagai ichor. Dalam versi mitos yang lain, Talos terbunuh oleh panah beracun yang ditembakkan oleh seorang pangeran Kreta bernama Phaleros.

Efek "uncanny valley"

“Orang cenderung takut pada apa pun yang terlihat seperti manusia, tetapi sebenarnya bukan manusia,” sebut Marialena.

Belum lama ini, robot canggih bernama Sophia, mendapatkan popularitas yang sangat luar biasa. Sophia adalah robot warga negara pertama di dunia dan duta inovasi robot pertama untuk Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Meskipun banyak orang yang terpesona dengan penampilan dan kecerdasan Sophia, namun sebagian besar orang tampaknya mengalami rasa tidak nyaman dengan keberadaannya.

Efek "uncanny valley", dikenalkan oleh Masahiro Mori, ahli robotik Jepang, pada 1970. Teori tersebut mengacu pada perasaan mengerikan yang diberikan oleh makhluk buatan yang sangat mirip dengan manusia, tetapi tidak cukup mirip dengan manusia.

Namun demikian, apakah semua budaya memandang robot dengan cara yang sama? Mungkinkah, misalnya, orang Barat mengalami tingkat kegelisahan yang sama dengan orang Asia Tenggara?

Boleh jadi berbeda, atau sebaliknya. Namun perlu diketahui, seperti apa yang telah dijelaskan Marialena, budaya barat telah banyak dipengaruhi oleh gagasan dan kepercayaan orang Yunani kuno.

Mitologi Yunani seperti Pandora membantu kita memahami mengapa Barat mungkin lebih ragu–jika tidak takut–dalam menghadapi kecerdasan buatan.

“Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa orang-orang Yunani kuno telah memperingatkan kita tentang robot dan mitos-mitos mereka adalah alasan mengapa kita [orang Barat] takut terhadap mereka,” pungkas Marialena.