Nationalgeographic.co.id—Saat itu adalah September, akhir perang antara Kekaisaran Rusia melawan Kekaisaran Jepang. Kekaisaran Jepang, yang saat itu dianggap terbelakang dan menjadi sasaran penjajahan, secara spektakuler mengalahkan Kekaisaran Rusia.
“Perang ini akan selamanya membekas di benak masyarakat Jepang dan Rusia,” jelas Ilyas Benabdeljalil, seorang Master Hubungan Internasional dari Maroko.
Menurut Ilyas, bagi bangsa Asia, hal tersebut akan menjadi awal dari keseimbangan kekuatan dengan dunia Barat. Juga menjadikan Jepang sebagai pemain geopolitik utama.
“Bagi Rusia, kekalahan ini menandakan lemahnya rezim Tsar Nikolay II dan keruntuhan Kekaisaran Rusia secara perlahan.”
Bangkitnya Kekaisaran Jepang dan Kepentingan Kekaisaran Rusia di Timur Jauh
Pada awal abad ke-19, Jepang merupakan negara feodal yang diperintah oleh Shogun, atau panglima perang, yang memegang kekuasaan atas nama Kaisar.
Namun, hal ini dengan cepat mulai berubah ketika Amerika Serikat menuntut. Dengan ancaman invasi militer, Amerika mendesak agar Kekaisaran Matahari Terbit membuka perbatasannya untuk perdagangan pada tahun 1853.
Guncangan ini akhirnya berujung pada penghapusan kekuasaan shogun pada tahun 1868 dan pemusatan semua kekuasaan di tangan Kaisar. “Ini adalah awal dari Restorasi Meiji,” jelas Ilyas.
“Kaisar Jepang Meiji yang masih muda, bersama dengan para menterinya, meluncurkan modernisasi yang cepat di negara ini, dengan tujuan untuk mempertahankan kemerdekaannya dari kekuatan kolonial asing,” imbuhnya.
Pada tahun 1880-an, Kekaisaran Jepang memiliki militer yang baru dengan peralatan berteknologi tinggi dan industri ekonomi yang berkembang pesat.
Kekaisaran Jepang kemudian mencoba memperluas pengaruhnya di luar negeri. Ia memasukkan Korea ke dalam zona pengaruhnya pada tahun 1895, setelah dengan cepat mengalahkan Tiongkok.
Perkembangan ini tidak menyenangkan Kekaisaran Rusia, yang sebenarnya juga memiliki kepentingan di semenanjung Korea.
Ilyas menjelaskan, selama berabad-abad, para tsar mencoba memperluas wilayah kekuasaan mereka ke arah "perairan hangat" dan membuka rute laut perdagangan.
Pada 1858, Kekaisaran Rusia mengakuisisi wilayah "Zolotoy Rog" dari Tiongkok di Pasifik dan mendirikan pelabuhan Vladivostok. “Namun, pesisir laut itu hanya dapat digunakan selama bulan-bulan musim panas dalam setahun.”
Setelah perang Jepang-Cina pada 1894-1895, Kekaisaran Jepang mengakuisisi Port Arthur (sekarang provinsi Lushunku di Tiongkok), yang diperebutkan oleh Kekaisaran Rusia.
Dengan dukungan Prancis dan Jerman dalam apa yang disebut sebagai Intervensi Tiga Negara, Nikolay II berhasil menguasai wilayah tersebut.
Selain itu, tentara Rusia menduduki Manchuria pada tahun 1900 selama Pemberontakan Boxer di Tiongkok. Hal ini menambah ketegangan pada hubungan yang sudah rapuh dengan Kekaisaran Jepang.
Pertempuran Port Arthur dan Invasi Kekaisaran Jepang ke Korea
Setelah Pemberontakan Boxer, dan membuat Kekaisaran Jepang cemas, Rusia mengerahkan militer yang kuat di Manchuria. Upaya tersebut dilakukan guna memperjelas niat Kekaisaran Rusia di wilayah tersebut.
Pada tahun 1902, Kekaisaran Jepang menandatangani aliansi pertahanan dengan Britania Raya saat menegosiasikan demiliterisasi Manchuria dengan Rusia.
Selain itu, Prancis secara terbuka tidak menyetujui ambisi ekspansionis Rusia di Timur Jauh, dan mendesak kaisar untuk menghindari eskalasi lebih lanjut.
“Meski mendapati dirinya terisolasi dalam upaya Asia, Nikolay II terus maju,” terang Ilyas. “Korea dan Manchuria merupakan tujuan strategis utama bagi Rusia, sehingga kehilangan Port Arthur bukanlah sebuah pilihan.”
Pada 1901, Rusia menyelesaikan pembangunan jalur kereta api terpanjang di dunia: trans Siberia. Tujuanya adalah untuk menghubungkan Moskow ke Vladivostok di Pantai Pasifik.
Tidak hanya itu, Proyek besar ini diikuti dengan pembangunan jalur kereta api yang lebih kecil: menghubungkan Manchuria ke wilayah Kekaisaran Rusia lainya.
“Semua ini membuat Kaisar Maiji semakin kesal,” jelas Ilyas. Pada 4 Februari 1904, Jepang memutuskan semua hubungan diplomatik dengan Sankt Peterburg.
Empat hari kemudian, Tokyo secara resmi menyatakan perang dan segera menyerang Port Arthur, yang menandakan dimulainya Perang Rusia-Jepang.
Ilyas menjelaskan, pada malam hari setelah deklarasi perang, “angkatan laut Jepang, yang dipimpin oleh Laksamana Togo Heihachiro, melancarkan beberapa serangan ke armada Rusia yang diposisikan di Manchuria Selatan.”
Meskipun banyak korban jiwa, armada Rusia berhasil memukul mundur pasukan Laksamana Togo dengan bantuan serangan artileri darat. Tak kehabisan akal, Laksamana Togo mengubah strateginya dan memutuskan untuk memblokade kota.
Karena tak mampu menerobos ring pertahanan Kekaisaran Jepang, angkatan laut Rusia tak mampu menghentikan invasi Jepang yang tak tertahankan ke Korea pada April 1904.
Pada akhir bulan itu, Ilyas menjelaskan, “pasukan Jepang di bawah Jenderal Kuroki Tamemoto menyeberang ke Manchuria, mengalahkan Detasemen Timur Rusia dalam Pertempuran Sungai Yalu pada 1 Mei.”
Singkat cerita, pada 2 Januari 1905, Kekaisaran Jepang berhasil membuat Kekaisaran Rusia menyerah dalam pertempuran Liaoyang. Kemenangan pada pertempuran tersebut, berbuah jatuhnya Port Arthur dan Manchuria Selatan di tangan Kekaisaran Jepang.
Tsushima: Pertarungan yang Menentukan di Laut
“Kekaisaran Rusia tidak memiliki peluang untuk memenangkan perang, jika tidak memenangkan pertempuran di laut,” tegas Ilyas.
Mengalahkan kekuatan angkatan laut Kekaisaran Jepang bukanlah hal sepele. Togo Heihachiro, pemenang di Port Arthur, telah bersiap untuk melawan serangan Rusia, dengan menyembunyikan kapal-kapalnya di sepanjang pesisir Tiongkok dan Korea.
Ilyas menjelaskan, Pada 27 Mei 1905, armada Jepang, dengan lebih dari 60 kapal, menyerang 29 kapal Angkatan Laut Rusia.
“Pertempuran dimulai setelah armada Rusia terlihat oleh sebuah kapal pengintai, yang dengan cepat memberi tahu Laksamana Togo tentang posisi musuh.” Jelas Ilyas.
Mengejutkan musuh mereka, angkatan laut Jepang menimbulkan korban yang sangat besar bagi Kekasiaran Rusia. Alhasil, pada 29 Mei 1905, Rusia menyerah dalam pertempuran ini.
Akhir dari Perang Kekaisaran Rusia-Jepang: Kedamaian Portsmouth
Kedua belah pihak sangat menyadari bahwa perang akan memiliki dampak jangka panjang yang menghancurkan.
Bagi Kekaisaran Rusia, kekalahan yang terus menerus di darat dan laut, kerusuhan sosial, kelemahan ekonomi, serta lemahnya moral dan dukungan adalah alasan utama untuk mencari perdamaian.
Sedangkan bagi Jepang, perang yang panjang akan menjauhkan mereka dari fokus pada kesibukan lain yang lebih strategis. Pada awal Juli 1904, Kekaisaran Jepang mulai mencari perantara untuk memulai perundingan damai.
Presiden Theodore Roosevelt dari Amerika Serikat mengambil inisiatif untuk membantu kedua pihaki untuk mencapai kesepakatan damai. Perundingan damai berlangsung pada Agustus 1905, di Portsmouth, New Hampshire.
Rusia setuju untuk memenuhi semua tuntutan Kekasiran Jepang terkait pengakuan pengaruh di Korea, penyerahan Port Arthur ke Jepang, dan evakuasi Manchuria.
Namun, Ilyas menjelaskan, delegasi tsar menolak konsesi teritorial lebih lanjut atau pembayaran ganti rugi perang.
“Dengan dukungan Theodore Roosevelt, Kekaisaran Jepang membatalkan tuntutannya untuk membayar ganti rugi dengan imbalan bagian selatan Pulau Sakhalin,” jelas Ilyas.
Perang Rusia-Jepang memiliki banyak dampak jangka panjang. Bagi Jepang, perang ini memulai ekspansinya ke benua Asia dan menegaskan status barunya sebagai kekuatan global. Sedangkan bagi Rusia, kekalahan ini melambangkan kelemahan rezim kekaisaran Rusia.