Saya mencoba meminjam buku dari salah satu murid, ketika Nixon menugaskan mereka menggambar pengamatan mereka sendiri di sekitar kebun mangrove, terumbu karang, dan dermaga. Di salah satu halamannya terdapat istilah "ekosistem" dan "intrusi"—lagi-lagi istilah yang sukar bagi anak-anak.
Nixon akui, buku PLH ini masih menggunakan bahasa yang berat bagi anak-anak. Padahal, buku ini disusunnya bersama tim pendidikan lainnya di Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN). Ia harus menyesuaikan bahasa yang lebih mudah dicerna anak-anak saat mengajar, salah satunya dengan bahasa daerah seperti "manga-manga" untuk mangrove.
Pelajaran ini diterapkan di sekolah SDN 28 Awat pada jadwal muatan lokal. "Jadi, kita ajar di sekolah, lalu kita ajak anak-anak untuk observasi—pengamatan langsung di lapangan," terangnya.
Nixon adalah salah satu penggagas kurikulum pendidikan lingkungan hidup untuk anak di YKAN. "Saya berpikir bahwa kalau berbicara tentang lingkungan untuk orang tua masanya sudah, jadi saya lebih fokus kepada anak-anak supaya anak-anak itu lebih mengerti tentang alamnya sendiri, supaya mulai dari sekarang dia sendiri bisa menjaga, melindungi dia punya alam," ungkapnya.
Pembelajaran ini sudah dilakukan sejak 2008 di Balal. Kemudian, Nixon mengajar di Awat sejak 2014 untuk Pendidikan Lingkungan Hidup.
Nixon menilai bahwa pendidikan tentang lingkungan kepada murid-murid ini efektif. Dia menjumpai beberapa kasus baik di Awat maupun Balal, anak-anak mereka kerap menegur orang tuanya jika hendak melakukan penangkapan ikan menggunakan kompresor. "Seolah anak-anak yang mengajari orang tua, begitu," kata Nixon terkekeh.