Nixon Watem, Pengebom Ikan yang Jadi Guru Pendidikan Lingkungan Hidup

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Kamis, 1 Juni 2023 | 14:00 WIB
Sebelum ditetapkan sebagai kawasan sasi, masyarakat Kofiau menangkap ikan dengan alat perusak lingkungan seperti bom dan kompresor. Salah satunya adalah Nixon Watem. Kini, ia mengajar pendidikan tentang lingkungan hidup untuk murid-murid SD N 28 Awat, Kofiau, Papua Barat Daya. (Garry Lotulung)

Nationalgeographic.co.id—"Mangrove cantik siapa yang punya? Mangrove cantik siapa yang punya? Mangrove cantik siapa yang punya? Yang punya kita semua," seru murid-murid kelas empat sampai enam SD, bernyanyi. Suaranya terdengar sampai keluar ruangan kelas.

Saya yang berada di bawah pepohonan taman sekolah terheran-heran, mereka mengetahui istilah mangrove. Padahal, istilah ini rumit bagi anak-anak umumnya di tempat saya berasal. Di tempat saya, disebutnya bakau agar lebih mudah dimengerti. Banyak anak-anak di tempat saya juga sulit membedakan bakau dengan tanaman yang memiliki nama yang mirip, tembakau.

Murid-murid ini bersekolah di SD Negeri 28 Awat, Distrik Kofiau, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya. Tempat ini adalah satu-satunya sekolah di Awat. SD lainnya, bersama SMP dan SMA, berada di Balal, sebuah pulau kecil satu kilometer di utara Pulau Kofiau atau sekitar 15 menit menggunakan perahu.

Murid-murid SDN 28 Awat ini rupanya mengenal mangrove karena istilah ini memiliki kesamaan dalam bahasa Kofiau "manga-manga". Di Pelabuhan Awat, pepohonan mangrove begitu rindang, tersebar beberapa meter, dan dekat dengan pemukiman warga. Tidak heran bahwa anak-anak di sini mengenal tanaman ini dengan baik.

Hanya ada dua guru tetap di sini, dua lainnya honorer dari Sorong. Salah satu guru tetapnya bernama Nixon Watem yang mengajar Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH).

Murid-murid mengenal berbagai biota laut karena dapat dijumpai. Lewat PLH ini memudahkan pemahaman dasar tentang fungsinya. 

"Pendidikan Lingkungan Hidup itu supaya anak didik punya pengetahuan tentang konservasi," kata Nixon. Ia kerap mengajak murid-muridnya keluar kelas untuk melakukan pengamatan langsung pada ekosistem pesisir.

Nixon Watem bersama murid-murid SDN 28 Awat, Papua Barat Daya. Dia sebelumnya adalah nelayan pengebom ikan, yang kemudian menjadi guru untuk Pelajaran Lingkungan Hidup. (Garry Lotulung)

Semasa muda, Nixon adalah nelayan. Agar bisa mendapatkan ikan tangkapan besar, bom digunakan. "Jadi kita buat bom itu hanya buat dapat ikan, untuk makan saja, dulu kan tidak dijual," terangnya. Ketika laut lebih tenang, mereka mendapatkan ikan dengan menggunakan akar tuba supaya mendapatkan ikan kecil sebagai umpan pancing ikan besar.

"Ternyata di tempat kita melakukan buru ikan, terumbu karang mati semua. Jadi, pada saat kita melakukan kegiatan-kegiatan pengerusakan itu kita tidak sadar bahwa hal itu merusak lingkungan laut, terutama terumbu karang," lanjutnya.

Hal itu terjadi sekitar tahun 1988, saat Nixon masih SMP. Pengetahuan tentang pembuatan bom diperkenalkan oleh pemuda kampungnya. Demi lauk di rumah, ia ikut aktivitas pengeboman di laut. Masyarakat Kampung Awat dan sekitarnya terpengaruh oleh nelayan luar pada 1990-an. Mereka menggunakan alat yang lebih canggih untuk menangkap ikan: kompresor.

Padahal alat ini berbahaya karena bisa menyebabkan tuli, kelumpuhan, hingga meninggal dunia. Sementara, alat ini juga menyebabkan terumbu karang rusak. "Jadi, sepertinya kita kan dulu belum mengerti benar. Dan kita memang buta betul apa itu konservasi, dan bagaimana kita menjaga alam kita," ungkapnya.

Dalam kurikulum Pendidikan Lingkungan Hidup, murid tidak hanya belajar di kelas tetapi juga langsung melakukan pengamatan di lapangan. Kekayaan alam Kofiau membuat murid-murid SD N 28 Awat mengenal lingkungannya untuk dijaga. (Garry Lotulung)

Sejak 1995, sebenarnya penyuluhan untuk menghentikan pengerusakan ekosistem dilakukan oleh berbagai kalangan, terutama mahasiswa dari Universitas Cenderawasih, Jayapura.

Organisasi non-pemerintahan semperti TNC (The Nature Conservancy) juga pernah datang pada tahun 2004. Tetapi banyak yang menolak, karena penyuluhan itu dinilai menghentikan sumber pencarian masyarakat.

Rupanya, konservasi tidak hanya sekadar menjaga alam, tetapi bagaimana mempertahankan kebutuhan masyarakat. Kelompok nelayan di Kofiau kemudian belajar bagaimana mengelola hasil laut sebagai produk yang punya nilai jual lebih, seperti abon, sambal ikan, dan penjualan ikan asin.

Melihat ada upaya seimbang antara alam dan kebutuhan manusia, Nixon justru penasaran tentang dunia konservasi dan perlindungan ekosistem. Dia mulai aktif dalam kegiatan pendataan biota dan berpergian keliling Raja Ampat.

Biota laut dan pesisir Kofiau diamati oleh murid-murid, seperti kegiatan observasi ilmiah. Namun, Nixon Watem mengemasnya dengan cara menyenangkan berupa menggambar dan menuliskan namanya dengan bahasa lokal. (Garry Lotulung)

Nixon pun memahami tentang sasi, sebagai masa di mana biota laut tidak boleh diambil, tetapi akan dibuka kembali. Ketika dibuka kembali, biota laut akan melimpah, dan membawa jumlah yang besar penghasilan masyarakat ketika dijual.

Masyarakat di Kofiau pun mulai menerapkan sasi setelah memahami pentingnya perlindungan laut dengan konsep ini. Kawasan sasi Kofiau melingkupi seluruh perairannya hingga Kepulauan Boo yang berbatasan dengan perairan Maluku Utara, dalam "Peta Kawasan Konservasi di Perairan Kepulauan Raja Ampat di Papua Barat Daya" dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

"Kemudian, setelah kami lakukan memberikan pemahaman yang masih bergabung dalam pengerusakan menggunakan potasium dan bom, lalu mulai mereka meninggalkan pekerjaan itu untuk kembali dan—syukur sampai saat ini masyarakat tidak melakukan pengerusakan lagi, termasuk saya sendiri—mereka mulai memancing biasa," kenangnya.

"Konservasi tidak melarang (masyarakat memanfaatkan alam laut), tetapi mengajak masyarakat bagaimana melindungi dan menggunakan sumber daya alam secara berkelanjutan, menggunakan alat yang ramah lingkungan," tegasnya.

Pendidikan Lingkungan Hidup

Bagi Nixon Watem, mengajar tentang lingkungan hidup dasar bagi anak-anak sangat penting demi keberlangsungan masa depan mereka. (Garry Lotulung)

Saya mencoba meminjam buku dari salah satu murid, ketika Nixon menugaskan mereka menggambar pengamatan mereka sendiri di sekitar kebun mangrove, terumbu karang, dan dermaga. Di salah satu halamannya terdapat istilah "ekosistem" dan "intrusi"—lagi-lagi istilah yang sukar bagi anak-anak.

Nixon akui, buku PLH ini masih menggunakan bahasa yang berat bagi anak-anak. Padahal, buku ini disusunnya bersama tim pendidikan lainnya di Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN). Ia harus menyesuaikan bahasa yang lebih mudah dicerna anak-anak saat mengajar, salah satunya dengan bahasa daerah seperti "manga-manga" untuk mangrove.

Pelajaran ini diterapkan di sekolah SDN 28 Awat pada jadwal muatan lokal. "Jadi, kita ajar di sekolah, lalu kita ajak anak-anak untuk observasi—pengamatan langsung di lapangan," terangnya.

Nixon adalah salah satu penggagas kurikulum pendidikan lingkungan hidup untuk anak di YKAN. "Saya berpikir bahwa kalau berbicara tentang lingkungan untuk orang tua masanya sudah, jadi saya lebih fokus kepada anak-anak supaya anak-anak itu lebih mengerti tentang alamnya sendiri, supaya mulai dari sekarang dia sendiri bisa menjaga, melindungi dia punya alam," ungkapnya.

Pembelajaran ini sudah dilakukan sejak 2008 di Balal. Kemudian, Nixon mengajar di Awat sejak 2014 untuk Pendidikan Lingkungan Hidup.

Nixon menilai bahwa pendidikan tentang lingkungan kepada murid-murid ini efektif. Dia menjumpai beberapa kasus baik di Awat maupun Balal, anak-anak mereka kerap menegur orang tuanya jika hendak melakukan penangkapan ikan menggunakan kompresor. "Seolah anak-anak yang mengajari orang tua, begitu," kata Nixon terkekeh.