Nationalgeographic.co.id—Jawabanya adalah iya. “Para seniman Renaisans memang menggunakan mayat manusia untuk memahami anatomi,” jelas Molly Dowdeswell, seorang sejarawan dari Universitas Swansea, Inggris Raya.
Bahkan, menurutnya, orang-orang telah menggunakan mayat untuk mempelajari anatomi sejak zaman Yunani Kuno. Namun, pada masa Renaisans, hal tersebut baru menjadi populer.
Tak sedikit para seniman pada zaman Renaisans menghadiri pembedahan langsung, yang sering diadakan oleh para dosen di Universitas.
“Beberapa bahkan membentuk kemitraan bisnis yang stabil dengan para ahli anatomi yang akan memberikan demonstrasi pribadi dengan imbalan ilustrasi untuk buku-buku mereka,” jelas Molly.
Agaknya topik ini terdengar mengerikan dan menjijikan, namun dengan ini kita dapat mengerti kisah para seniman Renaisans yang mengejar kesempurnaan artistik.
Herophilus & Erasistratus: Penggunaan Mayat pada Periode Kuno
Seperti yang telah dijelaskan Molly di atas, mayat telah digunakan oleh para seniman dan ilmuwan sejak zaman kuno.
Penggunaan mayat pada zaman klasik dipelopori oleh dua orang dokter: Herophilus dari Chalcedon dan Erasistratus dari Ceos. Keduanya adalah orang pertama di zamannya (abad ke-3 SM) yang melakukan pembedahan mayat secara konsisten dan sistematis.
Mereka melakukannya di tengah keberatan moral dan agama yang signifikan terhadap pembedahan mayat manusia.
Meskipun demikian, dua orang ini mampu menjatuhkan pandangan negatif orang-orang tentang praktik pembedahan mayat. Seperti apa yang dinyatakan oleh S.K. Gosh, mereka dapat melakukannya karena perubahan umum dalam sikap terhadap pendidikan ilmiah yang terjadi dengan berdirinya Alexandria.
Di Alexandria, studi ilmiah berkembang pesat, dan banyak cendekiawan di sana mulai mendukung penggunaan mayat untuk ilmu pengetahuan. Dengan berdirinya sekolah kedokteran Yunani di sana pada abad ke-3 SM, metode utama untuk mempelajari anatomi manusia menjadi pembedahan mayat.