Menyibak Simpang Siur Kelompok Bajak Laut Kesohor Kekaisaran Jepang

By Tri Wahyu Prasetyo, Kamis, 1 Juni 2023 | 11:00 WIB
Ilustrasi abad ke-18 yang menunjukkan pertempuran laut antara bajak laut wako Jepang dan kapal angkatan laut Tiongkok. (Public Domain/Wikimedia Commons)

“Terbukti bahwa meskipun sekarang para wako dianggap sebagai bajak laut Kekaisaran Jepang, pada abad ke-16, sebagian besar wako sebenarnya adalah orang Tionghoa,” jelas  Molly.

Menurut Stuart Iles, seorang penulis sekaligus sejarawan Jepang,  jumlah anggota wako yang berasal dari Kekaisaran Jepang diyakini hanya 30 persen.

“Tercatat bahwa penguasa laut Tiongkok seperti Koxinga memerintah lautan dan mempekerjakan ribuan wako dari Cina dan Korea dengan orang Jepang hanya sekitar 10% dari kelompok tersebut.”

Ming Shi, yang menjadi riwayat resmi dinasti Ming di Tiongkok, menyatakan bahwa sebagian besar bajak laut wako adalah orang Tiongkok.

Banyak pedagang resmi di Kekaisaran Tiongkok yang tidak puas dengan pembatasan dan pajak perdagangan yang diterapkan pemerintah Ming. “Sehingga mereka beralih ke kegiatan ilegal,” jelas Molly.

Molly menambahkan, Ada juga kelompok pedagang Portugis dan Korea berpengaruh yang beroperasi di daerah tersebut. “Para pedagang ini sering bekerja sama dengan para bajak laut dan membantu menyelundupkan barang masuk dan keluar dari Tiongkok.”

Selain itu, melihat bajak laut wako sebagai orang yang pada dasarnya jahat dan mengganggu juga bermasalah. 

Ada beberapa kasus ketika bajak laut wako terlibat perdagangan yang legal dan damai. Di sisi lain, ada juga bukti bahwa para pedagang yang tadinya damai, sesekali terlibat dalam tindakan perompakan.

Terlepas dari semua ini, menurut Molly, Untuk waktu yang lama, para wako menyerang daerah-daerah di Jepang secara sporadis dan sering kali berdagang secara damai. “Ada dokumentasi yang mencatat wako, siapa pun mereka, sejak abad ketiga Masehi.”

Kiprah Wako di Perairan Asia

Menyitir Mark Cartwright dalam World History Encyclopedia, dalam kiprahnya, wako menjelajahi lautan di Asia Timur, mulai dari Korea hingga perairan di Indonesia. 

Sebagai bajak laut, ia mengganggu para pedagang yang ditemui, menciptakan kehancuran pada masyarakat pesisir, dan menjual ribuan orang tak berdosa sebagai budak.