Secara historis dalam perspektif mitologi Hindu, "kalamakara pada awalnya adalah dewa yang tampan. Nahas, karena kesalahan dalam hidupnya, ia dikutuk dan dihukum oleh Sang Hyang Widi menjadi raksasa yang buas dan berfaras buruk nun mengerikan," tulis Kemas.
Kemas Reyhan Maulana menulis dalam skripsinya berjudul Perancangan Media Informasi Komplek Candi Dieng Melalui Media Buku Ilustrasi kepada Universitas Komputer Indonesia yang dipertahankan pada tahun 2019.
Wajahnya yang mengerikan, sebagaimana sifatnya yang buas. Setiap hewan atau makhluk lain yang dijumpainya, akan diterkam dan dimakannya.
Konon, karena kepunahan makhluk atau hewan untuk ia makan, pada akhirnya ia memakan seluruh tubuhnya hingga menyisakan kepalanya saja. Inilah mengapa dalam mitologi Jawa, kalamakara hanya digambarkan kepalanya saja.
Secara filosofis, kala dari kata kalamakara dapat berarti waktu. Filsafat Jawa menyebut bahwa kala (waktu) akan memakan apa saja (kehidupan). Hingga kebermanfaatan hidup jadi filosofi yang ditekankan agar tidak tersia dimakan kala.
Sedangkan, makara dari kata kalamakara sering digambarkan menyerupai kepala naga, Makara terletak di kanan dan kiri tangga pada pintu masuk candi. Makara ini melambangkan sebuah keselamatan.
Makara sebagai perlambang hewan dalam mitologi Jawa, tidak selalu sama dengan mitologi di daerah lainnya. Makara juga dikatakan merupakan hewan gabungan. Seperti di Bali, makara dilambangkan sebagai gajah dan ikan.
Beberapa rupa makara di negara lain juga digambarkan berbeda. Ambil contoh makara yang berkembang dalam mitologi Nepal, digambarkan sebagai hewan campuran yang berbadan ikan, rahang buaya dan belalai gajah.
Berbeda halnya dengan makara yang berkembang dalam mitologi masyarakat tradisi di India. Di sana, makara dilukiskan sebagai kendaraan Dewa Baruna, yang wujudnya lebih menyerupai buaya.
Kalamakara biasanya diletakkan di atas ambang pintu, jendela atau relung di dinding candi. Hal ini berkaitan dengan fungsi kala sebagai penolak bala pada bangunan candi sehingga selalu digambarkan dengan wajah menyeramkan.
Namun, peletakkan dan penggambarannya pada candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur umumnya berbeda. "Di Jawa Tengah, penggambaran bentuk Kalamakara pada ambang pintu biasanya tidak memiliki bagian rahang bawah," imbuh Kemas.
Ia menambahkan, "sangatlah berlawanan dengan Kalamakara yang berada pada daerah Jawa timur, dikarenakan Kalamakara pada daerah tersebut memiliki rahang bawah sehingga wajah dari Kalamakara yang ditunjukkan secara utuh."
Waridah dan Agus menambahkan bahwa dalam wujudnya di ambang pintu candi, biasanya kalamakara digambarkan juga dengan "motif ikal (ukel) pada bagian sisi bibir menunjukkan rambut wajah seperti jenggot."
Selain itu, pada bagian kepala, terdapat hiasan kepala berupa pita melingkar seperti bando, dengan tiga motif tengkorak berseling dengan dua motif bunga. Hiasan berbentuk ikal-ikal kecil juga tampak di daerah kening, hidung, dan pelipis.