Kalamakara yang Mengerikan dalam Mitologi Jawa dari Majapahit

By Galih Pranata, Kamis, 1 Juni 2023 | 15:00 WIB
Potret patung batu berbentuk Makara di Candi Kalasan pada tahun 1928. Makara atau kalamakara jadi bagian dari mitologi Jawa yang diwariskan sejak era Majapahit. (Koleksi Tropenmuseum)

Nationalgeographic.co.id—Majapahit sebagai suatu imperium dan peradaban yang kuat di era sejarah, menyimpan banyak hal yang masih diselimuti misteri. Majapahit mewariskan banyak kepercayaan bagi rakyat Jawa, termasuk mitologi Jawa.

Dalam mitologi Jawa, rakyatnya memahami tentang perwujudan makhluk-makhluk mitologis yang memiliki persona dan falsafahnya sendiri. Salah satunya tentang warisan kalamakara dalam mitologi Jawa.

Kalamakara atau kala menjadi satu wujud keyakinan yang diwariskan dan menjadi bagian dari mitologi Jawa. Perwujudan kalamakara muncul dalam beberapa patung dan perhiasan artefak Majapahit. Umumnya, hanya berbentuk kepala tanpa tubuh.

"Pada beberapa perhiasan, ditampilkan wujud kepala kala (kalamakara), yakni seekor hewan dalam mitologi Hindu," tulis Waridah Muthiah dan Agus Sachari dalam Prosiding: Seni, Tenologi, dan Masyarakat.

Prosidingnya berjudul Motif Kalamakara Pada Temuan Perhiasan Emas Era Majapahit Koleksi Museum Nasional Jakarta yang diterbitkan pada tahun 2020.

Kalamakara biasanya digambarkan dengan wujud yang sangat mengerikan, yakni dengan "mata melotot dan mulut menyeringai memperlihatkan taring," imbuhnya. Wujud ini biasanya digambarkan pada pintu gerbang candi, sebagai penolak bala.

Hanya pada era Klasik Akhir, tepatnya pada era Majapahit, wujud ini juga digambarkan pada perhiasan. Penggambaran hewan mitologi ini memiliki beragam variasi baik dari segi gaya seni (langgam) maupun detail penggambaran.

Saat ini, motif kalamakara dalam perhiasan emas dari era Majapahit ini disimpan dan dimiliki oleh Museum Nasional Jakarta. Motif kalamakara dapat ditemukan pada subang (kundala) serta kelat bahu (keyura).

Dapat disimpulkan bahwa kedua perhiasan ini dimungkinkan digunakan sehari-hari. Antara kundala dan keyura adalah jenis perhiasan yang sering didapati pada arca batu, arca perunggu, maupun arca tanah liat dari era Majapahit. 

Jika arca batu umumnya menggambarkan tokoh dewa atau raja yang digambarkan sebagai sosok dewa, beberapa arca logam dan arca tanah liat juga menggambarkan tokoh-tokoh dengan busana keseharian.

Dalam riset Waridah dan Agus, beberapa perhiasan warisan Majapahit tentang hewan mitologis ini dimungkinkan sebagai perwujudan ular raksasa atau naga. Dalam mitologi Jawa, kalamakara berfungsi sebagai pengusir roh-roh jahat.

Kalamakara di Candi Sangasari, Malang. Hiasan pintu masuk candi yang berfungsi sebagai pengusir roh-roh jahat. Ketika Malang dijangkiti pagebluk pes, banyak warga desa yang melukis sosok Kala di dinding rumah mereka. (KITLV)

Secara historis dalam perspektif mitologi Hindu, "kalamakara pada awalnya adalah dewa yang tampan. Nahas, karena kesalahan dalam hidupnya, ia dikutuk dan dihukum oleh Sang Hyang Widi menjadi raksasa yang buas dan berfaras buruk nun mengerikan," tulis Kemas.

Kemas Reyhan Maulana menulis dalam skripsinya berjudul Perancangan Media Informasi Komplek Candi Dieng Melalui Media Buku Ilustrasi kepada Universitas Komputer Indonesia yang dipertahankan pada tahun 2019.

Wajahnya yang mengerikan, sebagaimana sifatnya yang buas. Setiap hewan atau makhluk lain yang dijumpainya, akan diterkam dan dimakannya.

Konon, karena kepunahan makhluk atau hewan untuk ia makan, pada akhirnya ia memakan seluruh tubuhnya hingga menyisakan kepalanya saja. Inilah mengapa dalam mitologi Jawa, kalamakara hanya digambarkan kepalanya saja.

Secara filosofis, kala dari kata kalamakara dapat berarti waktu. Filsafat Jawa menyebut bahwa kala (waktu) akan memakan apa saja (kehidupan). Hingga kebermanfaatan hidup jadi filosofi yang ditekankan agar tidak tersia dimakan kala.

Sedangkan, makara dari kata kalamakara sering digambarkan menyerupai kepala naga, Makara terletak di kanan dan kiri tangga pada pintu masuk candi. Makara ini melambangkan sebuah keselamatan.

Makara sebagai perlambang hewan dalam mitologi Jawa, tidak selalu sama dengan mitologi di daerah lainnya. Makara juga dikatakan merupakan hewan gabungan. Seperti di Bali, makara dilambangkan sebagai gajah dan ikan.

Beberapa rupa makara di negara lain juga digambarkan berbeda. Ambil contoh makara yang berkembang dalam mitologi Nepal, digambarkan sebagai hewan campuran yang berbadan ikan, rahang buaya dan belalai gajah.

Berbeda halnya dengan makara yang berkembang dalam mitologi masyarakat tradisi di India. Di sana, makara dilukiskan sebagai kendaraan Dewa Baruna, yang wujudnya lebih menyerupai buaya.

Kalamakara biasanya diletakkan di atas ambang pintu, jendela atau relung di dinding candi. Hal ini berkaitan dengan fungsi kala sebagai penolak bala pada bangunan candi sehingga selalu digambarkan dengan wajah menyeramkan.

Namun, peletakkan dan penggambarannya pada candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur umumnya berbeda. "Di Jawa Tengah, penggambaran bentuk Kalamakara pada ambang pintu biasanya tidak memiliki bagian rahang bawah," imbuh Kemas.

Ia menambahkan, "sangatlah berlawanan dengan Kalamakara yang berada pada daerah Jawa timur, dikarenakan Kalamakara pada daerah tersebut memiliki rahang bawah sehingga wajah dari Kalamakara yang ditunjukkan secara utuh."

Waridah dan Agus menambahkan bahwa dalam wujudnya di ambang pintu candi, biasanya kalamakara digambarkan juga dengan "motif ikal (ukel) pada bagian sisi bibir menunjukkan rambut wajah seperti jenggot."

Selain itu, pada bagian kepala, terdapat hiasan kepala berupa pita melingkar seperti bando, dengan tiga motif tengkorak berseling dengan dua motif bunga. Hiasan berbentuk ikal-ikal kecil juga tampak di daerah kening, hidung, dan pelipis.