Penaklukan Madura Oleh Mataram dalam Catatan Sejarah Kolonial

By Galih Pranata, Selasa, 6 Juni 2023 | 13:00 WIB
Potret R.A. Tjakraningrat (Cakraningrat I). Dalam catatan sejarah kolonial, Cakraningrat bernama asli Raden Prasena yang semula merupakan tahanan perang Mataram atas Madura. (Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Sekitat abad ke-18, sudah terlihat adanya kedekatan antara Madura dengan Mataram di Jawa. Pasalnya, catatan sejarah kolonial telah mengonfirmasi penaklukan Madura oleh Mataram.

Dikisahkan, jauh sebelum kedatangan pasukan Mataram, Madura terpecah ke dalam beberapa kerajaan kecil.

Dalam catatan sejarah kolonial, Madura terbagi oleh Madaoura (Bangkalan), Arosbaya, Baleya (Balega), Samphaa (Sampang), Pacadianangh (Pakacangan), Pamekasan dan Sonnenep (Sumenep). 

Raden Prasena, seorang adipati Arosbaya (Arisbaya dalam catatan tradisional Mataram) yang kala itu masih berusia muda, untuk sementara waktu pindah ke Madegan untuk dididik oleh pamannya, Pangeran Santa Merta.

Tidak ada hal yang ganjil dari kehidupan feodal pada masyarakat Madura. Dari sini, tergambarkan kondisi yang damai di Madura—meskipun disebut adanya perbedaan pandangan antara Madura Barat dan Timur—sebelum akhirnya Mataram melakukan penyerbuan. 

Adipati Sujanapura ditunjuk oleh Sultan Agung dari Mataram, "sebagai panglima ekspedisi militer melawan Madura," tulis H. J. De Graaf dalam Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung yang diterbitkan pada tahun 1986.

Bagi De Graaf, orang Belanda mengetahui adanya rencana Mataram dan ekspansinya ke Madura. Ini disebabkan karena raja Mataram melalui "daerah tempur keistimewaan Kompeni, yaitu: laut!," imbuhnya.

Tak heran, terdapat banyak catatan sejarah kolonial yang mengisahkan penyerangan Mataram ke Madura, karena melintasi perairan selat Madura. Tidak seperti pembahasan lainnya, catatan sejarah kolonial tentang penyerbuan Mataram ke Madura hampir cukup detail.

Bagaimanapun, sumber catatan sejarah kolonial mengakui kebesaran Mataram. Itu tidak terlepas dari semangat ekspansi dan penguasaan daerah baru yang gencar dilakukan oleh pasukan Sultan Agung.

Kisah tentang penaklukan tanah Madura dimulai kala Sultan Agung, raja Mataram memerintahkan kepada segenap panglima perangnya untuk menghancurkan dan menguasai semua kerajaan yang ada di Madura.

Pada kenyataannya, penaklukan Mataram atas Madura tidak semudah membalikkan telapak tangan. Mataram sempat mendapatkan perlawanan sengit sebelum akhirnya mereka mengirimkan bala bantuan yang lebih besar lagi dari Jawa ke Madura.

Catatan sejarah kolonial meyakini, Juru Kiting yang ajaib adalah suksesor di balik kesuksesan Mataram menaklukkan Madura.

Juru Kiting dikenal di Mataram karena kesaktiannya yang magis. De Graaf mencatat tindak tak lazimnya yang justru melemahkan Madura.

De Graaf menyebut bahwa pasukan Madura melihat langsung ritual-ritual yang dipimpin langsung oleh Mataram. Secara kompak pasukan Mataram mendongakkan kepala ke langit setelahnya merundukkannya ke tanah.

Melihat itu, orang-orang Mataram bak mendapat semangat baru. Sebaliknya, pasukan Madura mengendur dan menciut keberaniannya. Tak pelak, Mataram merangsek dengan mudah menaklukan raja demi raja.

Penaklukan Mataram ke Madura tak menyisakan satupun di antara raja-raja Madura yang masih hidup. Upaya untuk menguasai dan membumihanguskan raja-raja Madura terjadi pada tahun 1624 M.

Menurut Khoirotun Nisa' (2015) dalam jurnalnya berjudul Pemerintahan Pangeran Cakraningrat I di Sampang Tahun (1624-1648), menyebutkan bahwa raja-raja di Madura telah tewas akibat terlibat pertempuran dengan pasukan Sultan Agung.

"Pangeran Mertosari penguasa Sampang, Pangeran Purbaya penguasa Pamekasan, Pangeran Jimat dan ayahnya Panembahan Ronggo Sukowati gugur dalam pertempuran," imbuh Nisa'.

Keraton Mataram di Tegal yang merupakan jejak kehidupan Purbaya pada abad ke-17. (KITLV)

Nasib Raden Prasena Pasca Penaklukan Madura Oleh Mataram

Kerajaan Arosbaya yang agung di Madura hampir hilang tak berbekas, hanya menyisakan satu pangeran Arosbaya yang masih tersisa. Ia adalah Raden Prasena.

Dalam catatan Tradisional Jawa (Mataram), Raden Prasena dididik dengan tempaan nilai-nilai Keislaman yang baik oleh ibunya. Narasi ini sedikit berbeda dengan catatan sejarah kolonial.

Berbeda dalam catatan sejarah kolonial yang dituliskan oleh De Graaf, Raden Prasena, seorang digambarkan dididik oleh pamannya, Pangeran Santa Merta di Madegan.

Namun ceritera selanjutnya, antara catatan tradisional Jawa dengan catatan sejarah kolonial berkisah sama tentang nasib dari Raden Prasena pasca takluknya Madura di bawah panji Mataram.

Raden Prasena dijadikan sebagai tawanan perang, yang kemudian oleh Sultan Agung dijadikannya sebagai abdi dalem kraton yang harus mematuhi segala peraturan tata krama keraton.

Tatkala ditawannya, dibenak Raden Prasena selalu terlintas dan terbesit kenangan pahit sanak saudaranya yang tewas di tangan Sultan Agung kala Mataram melakukan invasinya ke Madura.

Raden Prasena menyadari hal itu. Namun, berkat ketegaran dan berjiwa besar, ia berusaha untuk menepiskan kenangan kelam yang menyakitkan itu, sehingga tak sedikitpun tampak raut kesedihan di wajahnya.

"Kepribadiannya yang luhur, perangai terpuji, sopan santun, serta terampil dalam melaksanakan tugas, membuatnya menunjukkan suatu dedikasi yang luhur terhadap kraton Mataram," sambung Nisa'.

Integritas kerja, loyalitas dan dedikasi yang tinggi yang ditunjukkan oleh Raden Prasena, membuat Sultan Agung luluh, begitu juga dengan seisi istana Mataram yang menaruh simpati padanya.

Ketulusan hatinya mengabdi kepada Kraton Mataram, membuatnya dijadikan sebagai anak angkat dari Sultan Agung. Sejak saat itu, Raden Prasena memiliki hak dan perlakuan sama dengan putera raja.

"Keberhasilan Mataram menaklukan Madura, membuat Sultan Agung berkeinginan untuk menunjuk penguasa Madura di bawah kendali Mataram," pungkasnya.

Raden Prasena yang telah lama mengabdikan dirinya untuk Mataram di Surakarta, cukup mampu memimpin kerajaan di Madura, baik dipandang dari segi kepribadian maupun dari segi jiwa kepemimpinan yang dimilikinya.

Atas pemikiran dan pertimbangan yang matang, Sultan Agung berkehendak untuk mengangkat Raden Prasena menjadi seorang raja di Madura. 

Raden Prasena akhirnya dinobatkan sebagai raja di Madura pada 23 Desember tahun 1624 M, dengan gelar Pangeran Cakraningrat I

Penobatannya bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul Awal tahun 1045 Hijriyah, bersamaan dengan Peringatan Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW yang dirayakan sebagai grebek maulud di Kraton.

"Kesabaran Raden Prasena yang bergelar Cakraningrat I berbuah manis, ia mendapat berbagai hak istimewa sebagai buah dari ketabahannya dan pengabdiannya yang luhur sebagaimana didikan ibunya," tutup Nisa'.

Dengan begitu, ia menjadi pemimpin Mataram di Madura yang pada perjalanannya, Cakraningrat I telah terlibat urusan politik yang sibuk di jalur perairan Sungai Bengawan Solo untuk tetap sowan (berkunjung) ke Kraton Mataram di Yogyakarta.