Nationalgeographic.co.id – Sebelum teknik tenun dikenal, kain berbahan kulit kayu pernah menjadi tren pakaian yang tersohor pada masa prasejarah. Menariknya, produksi maupun penggunaan kain berbahan kulit kayu masih bisa ditemukan di Indonesia saat ini, khususnya di Sulawesi Tengah.
Tradisi pembuatan kain kulit kayu di Sulawesi Tengah berkembang terutama di kalangan masyarakat yang bermukim di wilayah pegunungan, seperti Lembah Bada, Lembah Besoa, Lembah Napu, dan Lembah Kulawi.
Empat lembah tersebut merupakan bagian dari kawasan Taman Nasional Lore Lindu, Kabupaten Sigi. Masyarakat di setiap wilayah pun punya sebutan yang berbeda untuk menyebut kain kulit kayu.
Di Lembah Bada, misalnya, kain kulit kayu biasa disebut ranta. Sementara itu, di Lembah Besoa, disebut inodo. Sedangkan di Lembah Napu disebut hampi dan di Lembah Kulawi disebut kumpe atau mbesa.
Baca Juga: Kepemilikan Kayu Jati Menentukan Status Sosial Masyarakat Jawa
Jika dibandingkan dengan kain pada umumnya, kain kulit kayu memang punya tekstur berbeda. Teksturnya cenderung kasar dan menyerupai kertas. Namun, masyarakat di lembah Taman Nasional Lore Lindu tetap setia melestarikan tradisi pembuatan kain berbahan kulit kayu.
Tak hanya untuk dijual di sentra oleh-oleh di kota-kota besar, masyarakat juga membuat kain kulit kayu sebagai bahan pakaian yang digunakan saat upacara adat atau hari penting.
Adapun beberapa model pakaian yang dibuat adalah toradau atau blus yang digunakan saat upacara adat untuk menyambut tamu terhormat, siga atau ikat penutup kepala, dan vini atau rok yang digunakan para perempuan saat upacara adat atau pernikahan.
Proses panjang yang berbuah manis
Perajin kain kulit kayu kebanyakan adalah kaum perempuan. Sampai saat ini, proses pembuatannya pun masih mengandalkan alat-alat tradisional. Pembuatan biasanya mulai dilakukan di masa-masa setelah menanam padi hingga waktu panen tiba.
Baca Juga: Bincang Redaksi-39: Pusparagam Lore Lindu di Jantung Wallacea