Meraba Sehelai Kain Berbahan Kulit Kayu dari Lembah Taman Nasional Lore Lindu

By Yussy Maulia, Minggu, 11 Juni 2023 | 13:00 WIB
Pakaian berbahan kain dari kulit kayu yang tersohor pada masa prasejarah masih dilestarikan di Kabupaten Sigi. (Dok. National Geographic Indonesia/Donny Fernando)

Nationalgeographic.co.id – Sebelum teknik tenun dikenal, kain berbahan kulit kayu pernah menjadi tren pakaian yang tersohor pada masa prasejarah. Menariknya, produksi maupun penggunaan kain berbahan kulit kayu masih bisa ditemukan di Indonesia saat ini, khususnya di Sulawesi Tengah.

Tradisi pembuatan kain kulit kayu di Sulawesi Tengah berkembang terutama di kalangan masyarakat yang bermukim di wilayah pegunungan, seperti Lembah Bada, Lembah Besoa, Lembah Napu, dan Lembah Kulawi.

Empat lembah tersebut merupakan bagian dari kawasan Taman Nasional Lore Lindu, Kabupaten Sigi. Masyarakat di setiap wilayah pun punya sebutan yang berbeda untuk menyebut kain kulit kayu.

Di Lembah Bada, misalnya, kain kulit kayu biasa disebut ranta. Sementara itu, di Lembah Besoa, disebut inodo. Sedangkan di Lembah Napu disebut hampi dan di Lembah Kulawi disebut kumpe atau mbesa.

Baca Juga: Kepemilikan Kayu Jati Menentukan Status Sosial Masyarakat Jawa

Jika dibandingkan dengan kain pada umumnya, kain kulit kayu memang punya tekstur berbeda. Teksturnya cenderung kasar dan menyerupai kertas. Namun, masyarakat di lembah Taman Nasional Lore Lindu tetap setia melestarikan tradisi pembuatan kain berbahan kulit kayu.

Tak hanya untuk dijual di sentra oleh-oleh di kota-kota besar, masyarakat juga membuat kain kulit kayu sebagai bahan pakaian yang digunakan saat upacara adat atau hari penting.

Adapun beberapa model pakaian yang dibuat adalah toradau atau blus yang digunakan saat upacara adat untuk menyambut tamu terhormat, siga atau ikat penutup kepala, dan vini atau rok yang digunakan para perempuan saat upacara adat atau pernikahan.

Proses panjang yang berbuah manis

Perajin kain kulit kayu kebanyakan adalah kaum perempuan. Sampai saat ini, proses pembuatannya pun masih mengandalkan alat-alat tradisional. Pembuatan biasanya mulai dilakukan di masa-masa setelah menanam padi hingga waktu panen tiba.

Baca Juga: Bincang Redaksi-39: Pusparagam Lore Lindu di Jantung Wallacea

Proses pembuatan kain dari kulit kayu. Kulit kayu dipukul dengan batu pemukul yang memiliki beragam tekstur. (Dok. National Geographic Indonesia/Donny Fernando)

Tahap pertama adalah pemilihan kayu. Tidak semua jenis kayu kulitnya dapat diolah menjadi kain. Jenis kulit kayu yang biasa digunakan oleh para perajin di Sigi untuk membuat kain tersebut adalah kayu ivo dan kayu pohon beringin, atau disebut kayu nunu oleh masyarakat setempat.

Batang pohon ivo atau nunu dipotong sedemikian rupa, lalu diambil serat-seratnya, hingga menyisakan kulit kayu yang tipis.

Kulit kayu yang telah dipisahkan akan melalui proses fermentasi. Bila perlu, kulit kayu tersebut juga dimasak agar teksturnya lunak. Kemudian, kulit kayu dipukul-pukul menggunakan alat pemukul yang disebut batu ike.

Menurut masyarakat setempat, batu ike terdiri dari beberapa macam dengan fungsi yang berbeda. Jenis pertama adalah ike pehelai, yaitu pemukul dengan permukaan lebar dan disusun renggang. Fungsi ike pehelai adalah untuk meratakan permukaan kulit kayu.

Baca Juga: Festival Lestari: Dukungan untuk Kekuatan Berbasis Alam dan Berdaya Saing yang Berkelanjutan

Jenis kedua adalah ike pokero. Bentuknya hampir mirip dengan ike pehelai, tetapi susunan batunya lebih rapat. Ike pokero berfungsi untuk menghaluskan permukaan kulit kayu.

Selanjutnya, ike pabengka yang berfungsi untuk membuat permukaan kulit kayu lebih lebar. Oleh sebab itu, ike pabengka didesain dengan permukaan rapat dan diagonal sejajar.

Jenis terakhir adalah ike pepaupu yang berfungsi untuk membuat serat kulit kayu menjadi lebih tipis dan halus. Ike pepaupu juga dapat mencetak pola garis pada permukaan kain sehingga permukaannya lebih bervariasi.

Setelah mendapat tekstur kulit kayu yang diinginkan, kain akan melalui proses pewarnaan. Umumnya, warna diambil dari bahan-bahan alami, seperti lumpur untuk menghasilkan warna cokelat atau bunga dan tumbuhan liar untuk menghasilkan warna lain.

Baca Juga: Saat Belanda Menguasai Hutan Blora, Ditentang Samin dan Pengikutnya

Proses terakhir adalah penggambaran motif. Adapun motif kain kulit kayu umumnya bernuansa alam, seperti bunga dan tanaman. Namun, seiring perkembangan zaman, perajin juga mulai mengaplikasikan motif batik dengan beragam corak unik.

Tradisi budaya berbasis kearifan lokal

Ada yang menarik dari tradisi pembuatan kain kulit kayu di lembah Taman Nasional Lore Lindu. Meski memanfaatkan kayu sebagai bahan utama, para perajin memahami betul pentingnya menjaga keseimbangan alam.

Hutan merupakan sumber kehidupan masyarakat di lembah Taman Nasional Lore Lindu. Hutan menjaga keseimbangan pangan dan sumber air bersih yang dibutuhkan manusia. Oleh sebab itu, masyarakat setempat menerapkan batasan dalam memanfaatkan sumber daya dari hutan, termasuk kayu.

Pemahaman tersebut erat kaitannya dengan prinsip pengelolaan alam yang dianut masyarakat Ngata Toro di Lembah Kulawi, yaitu ragampe tomahipato ragame, yang berarti memanfaatkan sekadarnya atau secukupnya. Prinsip tersebut rupanya telah diterapkan secara turun temurun dari nenek moyang.

Baca Juga: Wastra Pinawetengan, Tenun Leluhur yang Bergulat dengan Zaman

Tak sedikit perajin yang membudidayakan kayu ivo atau nunu dengan menanamnya sendiri di halaman rumah atau kebun-kebun milik warga. Dengan demikian, mereka tidak merambah hutan demi kepentingan pembuatan kain kulit kayu.

Perajin yang sebagian besar merupakan masyarakat Ngata Toro juga memiliki prinsip bahwa alam menyediakan sumber daya alam bagi manusia, tetapi manusia tidak dapat melakukan sebaliknya. Namun, manusia dapat memberikan rasa terima kasihnya kepada alam dengan menjaga keseimbangan seluruh sumber daya yang ada.

Kearifan lokal dan kekayaan alam ini menjadi salah satu dari lima potensi Kabupaten Sigi. Maka, penting bagi kita semua untuk memahami kekayaan alam dan kearifan lokal agar kita semua bisa tumbuh lebih baik dengan mengembangkan potensi ekonomi namun tetap mengakar dan melestarikan budaya.