Pada awal 1700-an, tekiya mulai mengorganisir diri menjadi kelompok-kelompok yang erat di bawah kepemimpinan bos.
“Kelompok ini kemudian diperkuat oleh buronan dari kelas yang lebih tinggi,” tulis Kallie Szczepanski di laman Thoughtco.
Karena itu, tekiya mulai berpartisipasi dalam kegiatan kejahatan terorganisir yang khas seperti perang antar wilayah.
Tekiya juga kadang berfungsi sebagai “penjaga keamanan” yang melindungi satu wilayah.
Dalam tradisi yang berlanjut hingga hari ini, tekiya sering berfungsi sebagai penjaga keamanan selama festival Shinto. Mereka bahkan menjaga kios di festival dengan imbalan sejumlah uang.
Antara tahun 1735 dan 1749, pemerintahan shogun berusaha meredakan perang geng antara berbagai kelompok tekiya.
Shogun juga mengurangi jumlah penipuan yang dilakukan oleh tekiya dengan menunjuk oyabun atau bos. Jadi bila ada kerusuhan, maka sang oyabun diberi sanksi resmi.
Oyabun diizinkan menggunakan nama keluarga dan membawa pedang. Hal ini merupakan suatu kehormatan yang sebelumnya hanya diperbolehkan bagi samurai.
Oyabun secara harfiah berarti orang tua asuh, menandakan posisi bos sebagai kepala keluarga tekiya mereka.
Kelompok kedua yang memunculkan yakuza adalah bakuto atau penjudi. Perjudian dilarang keras selama masa Tokugawa dan tetap ilegal di Jepang hingga hari ini.
Bakuto pun memutar otak agar bisa terus berjudi. Mereka sering memakai tato warna-warni di sekujur tubuh mereka.
Pada akhirnya, tradisi itu mengarah pada kebiasaan menato seluruh tubuh untuk yakuza modern. Dari bisnis inti mereka sebagai penjudi, bakuto secara alami bercabang menjadi rentenir dan beragam kegiatan ilegal lainnya.