Prajurit Biksu Sohei: Pesaing Kekuatan Samurai Kekaisaran Jepang?

By Tri Wahyu Prasetyo, Kamis, 15 Juni 2023 | 17:00 WIB
Ilustrasi prajurit biksu Sohei Kekaisaran Jepang. ( Brunogm/Adobe Stock)

Nationalgeographic.co.id—Ketika kita berpikir tentang ajaran Buddha saat ini, salah satu yang terbesit adalah tentang cinta damai dan cinta terhadap sesama manusia serta alam. Para biksu Buddha modern mengabdikan diri untuk menyebarkan pesan perdamaian dan cinta kasih, tetapi tidak selalu demikian.

Biksu Sohei di Kekaisaran Jepang pada abad pertengahan adalah gerakan biksu prajurit yang kuat. Mereka adalah penganut Buddha yang taat, sekaligus pejuang yang terampil.

“Para biksu prajurit ini cukup kuat pada masa kejayaannya,” tulis Aleksa Vuckovic, pada laman Ancient Origins, “begitu kuatnya sehingga mereka ditakuti oleh pemerintah.”

Kisah-kisah tentang biksu Sohei dapat dijumpai pada kisah epik Kekaisaran Jepang, yang masih diceritakan oleh masyarakat hingga saat ini.

Siapakah Biksu Sohei Kekaisaran Jepang?

Konsep prajurit biksu bukanlah hal yang aneh dalam budaya abad pertengahan dunia. Sebagai contoh, Ordo Teutonik di Eropa, para biarawan pejuang Kekaisaran Romawi yang tumbuh menjadi kekuatan tempur hebat. Begitu pula dengan Ksatria Templar.

Menurut Aleksa,  Sohei tentu saja dapat disamakan dengan para prajurit biarawan Eropa tersebut. “Kita dapat dengan yakin mengatakan bahwa prajurit biksu Sohei Jepang adalah bagian dari ordo biara yang besar, bukannya pejuang yang menyendiri atau pelindung kuil tertentu.”

Para Sohei secara mengejutkan sangat efisien dalam seni perang, dan akhirnya tumbuh menjadi sekuat para samurai. Senjata andalan mereka adalah naginata–ini memberi mereka keunggulan dalam bertarung, terutama melawan samurai berkuda di masa lalu.

Salah satu biara Sohei yang paling kuat terletak di Gunung Hiei dekat Kyoto, yang dikenal sebagai Enryaku-ji. Nantinya tempat tersebut akan menjadi titik pusat konflik besar abad ke-15.

Gerakan Sohei muncul pada awal abad pertengahan, selama periode Heian, yang berlangsung dari tahun 794 hingga 1185 Masehi. Ini adalah era yang penuh gejolak bagi gerakan keagamaan di Kekaisaran Jepang.

“Ada banyak perpecahan dan perseteruan antara kuil-kuil yang saling bersaing, sekte-sekte Buddha, dan penunjukan pemimpin-pemimpin Buddha,” terang Aleksa.

Perseteruan ini meluas menjadi konflik bersenjata. Artinya, para biksu yang sederhana pun harus mengenakan baju besi dan membawa senjata perang.