Sejarah Minat Kepurbakalaan di Indonesia: dari Hobi sampai Keilmuan

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 16 Juni 2023 | 12:00 WIB
Minat pada peninggalan purbakala pada awalnya hanyalah hobi. Pada abad ke-18 dan ke-19, minat ini menjadi bidang pengetahuan baru untuk mengetahui peradaban yang telah lalu. (Adhi Agus Oktaviana/Pusat Penelitian Arkeologi Nasional)

Walau kekuasaan Belanda di Hindia sempat terhenti, Inggris melanjutkannya. Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles punya minat yang tinggi akan kebudayaan di Nusantara.

Junus menjelaskan, lewat buku the History of Java—yang sebetulnya dia hanya sebagai editor—mendeksripsikan secara rinci tentang bangunan dan benda purbakala di Jawa.

"Keterangan dari buku itu sangat rinci. Buku ini sebenarnya adalah laporan mata-mata untuk mengenal daerah yang hendak ditaklukkan," tutur Junus.

"Dalam menuliskan bukunya itu, ia menggunakan sumber data dan narasumber yang tersedia di BG, yang pada era kependudukan Inggris diganti namanya menjadi Literary Society," imbuhnya.

Inggris tidak lama dan kekuasaan dikembalikan ke Belanda pada 1816. Sejarah minat kepurbakalaan di Indonesia kembali dipegang oleh Belanda oleh Caspar Georg Karl Reinwardt yang merupakan pendiri Kebun Raya Bogor.

BG kembali aktif dengan pencatatan, dokumentasi termasuk fotografi, dan pemugaran.

Hal yang paling momentum dalam sejarah minat kepurbakalaan di Indonesia adalah terlibatnya Theodoor van Erp.

Dia mempelopori kegiatan dokumetasi keberadaan purbakala Candi Borobudur di tahun 1870-an, saat fotografi populer. Di masa politik etis, dia juga dipercaya oleh pemerintah untuk memugar candi tersebut dari tahun 1907 hingga 1911.

Theodoor van Erp membawa terobosan baru dalam peninggalan purbakala di Indonesia. Dia memelopori pemugaran Candi Borobudur dan mendokumentasikannya dalam foto. (Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI))

Pegiat purbakala lainnya di BG juga ada J.W. Ijzerman yang sebenarnya adalah seorang insinyur sipil dan inisiator pendirian ITB.

Ijzerman menemukan kaki asli Candi Borobudur yang terbenam tahun 1885 ketika sedang berada di Yogyakarta dengan perkumpulan arkeolog bernama Archeologische Vereniging (AV).

Perkumpulan itu pun mulai mendokumentasikan hasil temuannya, termasuk relief. Di sini, mereka pernah melibatkan bapak fotografi Indonesia dari kalangan pribumi, Kassian Cephas. Pemotretan itu berlangsung di tahun 1890-1891. Cephas menjadi anggota AV dan Koninklijk Inistituut voor Taal—, Land—en Volkekunde (KITLV).