Nationalgeographic.co.id—Perhatian terhadap peninggalan peradaban purbakala muncul di tengah perkembangan ilmu pengetahuan modern abad ke-18.
Bidang ini awalnya bukanlah ilmu pengetahuan yang harus digali lebih lanjut dan melibatkan ahli, melainkan hanya kesenangan individu yang kemudian sampai pada kelompok minat.
"Arkeologi [sebagai salah satu bidang tentang purbakala], pada awalnya hanya dianggap sebagai minat ilmu sosial di antropologi karena hubungannya dengan pengamatan kebudayaan," kata Junus Satrio Atmodjo dari Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia di Museum Nasional dalam acara peringatan Hari Purbakala Indonesia ke-110, Rabu (14/06).
"Sejak itu [abad ke-18], minat untuk mengeksplorasi misteri budaya lampau, selain berkembang di Eropa, dan juga di wilayah-wilayah kolonial termasuk Indonesia yang kala itu masih disebut Hindia Belanda," lanjutnya.
Sejarah minat kepurbakalaan di Indonesia sudah berlangsung sebelumnya oleh segelintir ilmuwan, seperti naturalis Jerman G.E Rumphius.
Ketika hendak menelisik flora dan fauna Nusantara, dia mengumpulkan peninggalan purbakala, kemudian sebagian dicatat dan diberikan sebagai hadiah kepada pejabat.
Kemudian, terang Junus, minat ini dilakukan oleh berbagai profesi di Hindia Belanda. Di luar ilmuwan, ada partikelir atau juga pegawai pemerintah yang berkecimpung di bidang arkeologi.
Para ilmuwan pun mulai serius dengan bidang ini dalam sejarah minat kepurbakalaan di Indonesia.
Semasa Hindia Belanda, berdirilah lembaga bidang kesenian dan pengetahuan bernama Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BG) yang berpusat di Batavia pada 24 April 1778.
BG mengumpulkan semua hal yang berhubungan dengan kebudayaan dan peninggalan purbakala di Nusantara.
Hasil laporannya terkait peninggalan purbakala diterbitkan dalam Verdandelingen van het Bataviaasch Genootschap (VBG) yang melibatkan ilmuwan, dan kemudian 'cendekia lokal' pada era Politik Etis abad ke-20 awal.
Walau kekuasaan Belanda di Hindia sempat terhenti, Inggris melanjutkannya. Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles punya minat yang tinggi akan kebudayaan di Nusantara.
Junus menjelaskan, lewat buku the History of Java—yang sebetulnya dia hanya sebagai editor—mendeksripsikan secara rinci tentang bangunan dan benda purbakala di Jawa.
"Keterangan dari buku itu sangat rinci. Buku ini sebenarnya adalah laporan mata-mata untuk mengenal daerah yang hendak ditaklukkan," tutur Junus.
"Dalam menuliskan bukunya itu, ia menggunakan sumber data dan narasumber yang tersedia di BG, yang pada era kependudukan Inggris diganti namanya menjadi Literary Society," imbuhnya.
Inggris tidak lama dan kekuasaan dikembalikan ke Belanda pada 1816. Sejarah minat kepurbakalaan di Indonesia kembali dipegang oleh Belanda oleh Caspar Georg Karl Reinwardt yang merupakan pendiri Kebun Raya Bogor.
BG kembali aktif dengan pencatatan, dokumentasi termasuk fotografi, dan pemugaran.
Hal yang paling momentum dalam sejarah minat kepurbakalaan di Indonesia adalah terlibatnya Theodoor van Erp.
Dia mempelopori kegiatan dokumetasi keberadaan purbakala Candi Borobudur di tahun 1870-an, saat fotografi populer. Di masa politik etis, dia juga dipercaya oleh pemerintah untuk memugar candi tersebut dari tahun 1907 hingga 1911.
Pegiat purbakala lainnya di BG juga ada J.W. Ijzerman yang sebenarnya adalah seorang insinyur sipil dan inisiator pendirian ITB.
Ijzerman menemukan kaki asli Candi Borobudur yang terbenam tahun 1885 ketika sedang berada di Yogyakarta dengan perkumpulan arkeolog bernama Archeologische Vereniging (AV).
Perkumpulan itu pun mulai mendokumentasikan hasil temuannya, termasuk relief. Di sini, mereka pernah melibatkan bapak fotografi Indonesia dari kalangan pribumi, Kassian Cephas. Pemotretan itu berlangsung di tahun 1890-1891. Cephas menjadi anggota AV dan Koninklijk Inistituut voor Taal—, Land—en Volkekunde (KITLV).
Dari sekian banyak daftar peninggalan purbakala, BG dalam sejarah minat kepurbakalaan di Indonesia, berinisiatif mendirikan Oudheidkundige Dienst (OD) pada 14 Juni 1913. Tanggal inilah yang menjadi lahirnya Hari Purbakala Nasional di Indonesia.
Lembaga ini berfungsi mengurus hal kepurbakalaan di Jawa dan Madura. Ketuanya adalah Nicholas Johannes Krom yang diketahui sebagai orientalis, epigraf, arkeolog, sejarawan dan ahli budaya Indonesia.
Posisi OD sangat kuat dalam perihal kebijakan. Lembaga ini memengaruhi kebijakan konservasi peninggalan purbakala dan kehidupan budaya masyarakat lokal. Kegiatannya pun yang pada awalnya terbatas untuk di Pulau Jawa dan Madura, meluas ke seluruh Nusantara.
Pada tahun 1942, OD vakum ketika Jepang mulai menginvasi Hindia Belanda. Sejarah minat kepurbakalaan di Indonesia terhenti. Banyak pekerja dinas OD ditahan selama Perang Dunia II. Aktivitas kependudukan Jepang membuat salah satu sisi Candi Borobudur runtuh, sampai akhirnya kelak dipugar kembali setelah masa kemerdekaan.
Pemerintah kolonial sempat menghidupkan kembali OD tahun 1945, setelah Jepang menyerah kepada Sekutu. Namun, di saat bersamaan, Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya, dan pemerintahnya pun membentuk Djawatan Urusan Barang-Barang Purbakala.
OD mengganti namanya menjadi Oudheidkundige Dienst in Indonesie (ODI). Para ilmuwan terus aktif mendokumentasikan pelbagai peninggalan cagar purbakala secara verbal, visual, video, dan piktorial.
Baik ODI maupun Djawatan Purbakala, keduanya bahkan 'berkolaborasi', terang Junus. "Banyak mantan pekerja dinas yang turut membantu Djawatan Urusan Barang-barang Purbakala ini karena khawatir akan rusak dan hilang kalau tidak dilakukan perlindungan," lanjutnya.
Setelah Indonesia merdeka dan diakui oleh pemerintah Belanda tahun 1949, dibentuklah Dinas Purbakala sebagai pengganti Djawatan Purbakala dan ODI.
Dalam sejarah minat kepurbakalaan di Indonesia, dinas ini berada di bawah naungan Kementerian Pengadjaran, Pendidikan, dan Kebudajaan di tahun 1951, dengan R. Soekmono sebagai ketuanya. Dia adalah sarjana arkeologi pertama Indonesia.
Oleh Soekmono, candi Borobudur kembali dipugar pada tahun 1973 sampai 1983. Referensi pemugarannya berasal dari dokumentasi pemugaran pertama oleh Theodoor van Erp.
Dinas Purbakala pun berubah nama menjadi Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN) tahun 1964. Pada masa ini, pekerjaan LPPN meluas hingga membuka kantor cabang di luar Jawa.
Pengerjaan LPPN adalah perlindungan dan pemugaran dengan cara yang lebih terstruktur, di bawah Direktorat Kebudajaan. Di dalamnya, dibagi antara pekerjaan masa prasejarah dan klasik (Hindu-Buddha).
Kemudian, dinas ini terus bertransformasi dan bergerak melakukan pelestarian purbakala di Indonesia hari ini.
Berbagai kebijakan memengaruhi aktivitas mereka, yang terkadang menghambat atau memperlancar pekerjaan.
Selain lewat kedinasan dan direktorat, organisasi kepurbakalaan di Indonesia juga berkembang dan selalu didukung oleh undang-undang.
Undang-undang pertama tercatat dari masa Hindia Belanda di Monumenten Ordonantie 1931 Stadblad 238, kemudian UU No.5 tahun 1992 tentang Cagar Budaya, hingga yang baru-baru ini dalam UU No.11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.