Sejarah Minat Kepurbakalaan di Indonesia: dari Hobi sampai Keilmuan

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 16 Juni 2023 | 12:00 WIB
Minat pada peninggalan purbakala pada awalnya hanyalah hobi. Pada abad ke-18 dan ke-19, minat ini menjadi bidang pengetahuan baru untuk mengetahui peradaban yang telah lalu. (Adhi Agus Oktaviana/Pusat Penelitian Arkeologi Nasional)

Dari sekian banyak daftar peninggalan purbakala, BG dalam sejarah minat kepurbakalaan di Indonesia, berinisiatif mendirikan Oudheidkundige Dienst (OD) pada 14 Juni 1913. Tanggal inilah yang menjadi lahirnya Hari Purbakala Nasional di Indonesia.

Lembaga ini berfungsi mengurus hal kepurbakalaan di Jawa dan Madura. Ketuanya adalah Nicholas Johannes Krom yang diketahui sebagai orientalis, epigraf, arkeolog, sejarawan dan ahli budaya Indonesia.

Salah satu relief candi Borobudur yang dipotret oleh Kassian Cephas. Foto ini kemudian menjadi referensi untuk pemugaran candi Borobudur kedua kalinya oleh R. Soekmono pada tahun 1973. (Kassian Cephas)

Posisi OD sangat kuat dalam perihal kebijakan. Lembaga ini memengaruhi kebijakan konservasi peninggalan purbakala dan kehidupan budaya masyarakat lokal. Kegiatannya pun yang pada awalnya terbatas untuk di Pulau Jawa dan Madura, meluas ke seluruh Nusantara.

Pada tahun 1942, OD vakum ketika Jepang mulai menginvasi Hindia Belanda. Sejarah minat kepurbakalaan di Indonesia terhenti. Banyak pekerja dinas OD ditahan selama Perang Dunia II. Aktivitas kependudukan Jepang membuat salah satu sisi Candi Borobudur runtuh, sampai akhirnya kelak dipugar kembali setelah masa kemerdekaan.

Pemerintah kolonial sempat menghidupkan kembali OD tahun 1945, setelah Jepang menyerah kepada Sekutu. Namun, di saat bersamaan, Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya, dan pemerintahnya pun membentuk Djawatan Urusan Barang-Barang Purbakala.

OD mengganti namanya menjadi Oudheidkundige Dienst in Indonesie (ODI). Para ilmuwan terus aktif mendokumentasikan pelbagai peninggalan cagar purbakala secara verbal, visual, video, dan piktorial.

Baik ODI maupun Djawatan Purbakala, keduanya bahkan 'berkolaborasi', terang Junus. "Banyak mantan pekerja dinas yang turut membantu Djawatan Urusan Barang-barang Purbakala ini karena khawatir akan rusak dan hilang kalau tidak dilakukan perlindungan," lanjutnya.

 

Tim anggota ekspedisi Sriwijaya tahun 1954 sebagai tugas pertama Dinas Purbakala. Di sini terdiri dari Kepala Dinas Purbakala R. Soekmono (kedua dari kiri) dan ahli epigrafi J.G de Casparis (ketiga dari kiri). (Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI))

Setelah Indonesia merdeka dan diakui oleh pemerintah Belanda tahun 1949, dibentuklah Dinas Purbakala sebagai pengganti Djawatan Purbakala dan ODI.

Dalam sejarah minat kepurbakalaan di Indonesia, dinas ini berada di bawah naungan Kementerian Pengadjaran, Pendidikan, dan Kebudajaan di tahun 1951, dengan R. Soekmono sebagai ketuanya. Dia adalah sarjana arkeologi pertama Indonesia.

Oleh Soekmono, candi Borobudur kembali dipugar pada tahun 1973 sampai 1983. Referensi pemugarannya berasal dari dokumentasi pemugaran pertama oleh Theodoor van Erp.

Dinas Purbakala pun berubah nama menjadi Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN) tahun 1964. Pada masa ini, pekerjaan LPPN meluas hingga membuka kantor cabang di luar Jawa.

Pengerjaan LPPN adalah perlindungan dan pemugaran dengan cara yang lebih terstruktur, di bawah Direktorat Kebudajaan. Di dalamnya, dibagi antara pekerjaan masa prasejarah dan klasik (Hindu-Buddha).

Kemudian, dinas ini terus bertransformasi dan bergerak melakukan pelestarian purbakala di Indonesia hari ini.

Berbagai kebijakan memengaruhi aktivitas mereka, yang terkadang menghambat atau memperlancar pekerjaan. 

Selain lewat kedinasan dan direktorat, organisasi kepurbakalaan di Indonesia juga berkembang dan selalu didukung oleh undang-undang.

Undang-undang pertama tercatat dari masa Hindia Belanda di Monumenten Ordonantie 1931 Stadblad 238, kemudian UU No.5 tahun 1992 tentang Cagar Budaya, hingga yang baru-baru ini dalam UU No.11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.