Hasilnya adalah Perang Boshin yang terjadi dari tahun 1868 hingga 1869. Meskipun shogun menyerah, pemimpin Aizu, Katamori, terus melawan kekaisaran. Atas usahanya, pemerintah Meiji menyatakan dia sebagai musuh negara dan memerintahkan eksekusinya.
Nakano Takeko memimpin para samurai wanita dalam perang saudara
Samurai Matsudaira Katamori, daimyo ke-9 Domain Aizu dan Shugoshoku Kyoto tidak berniat menyerah. Dia memanggil prajuritnya untuk bertempur sampai mati.
Salah satunya adalah wanita muda, Nakano Takeko, yang memimpin sekelompok wanita lain yang ikut serta dalam perang saudara. Sebelum Pertempuran Besar Aizu, ia menghiasi senjatanya dengan puisi kematian yang dililitkan di naginata-nya.
Keterlibatan wanita dalam pengepungan Kastel Aizu-Wakamatsu menjadi contoh yang paling luar biasa dan otentik dalam sejarah Kekaisaran Jepang.
Termotivasi oleh kesetiaan yang kuat kepada daimyo pro-shogun mereka, para samurai wanita berjuang bersama kaum pria.
Nakano Takeko memimpin serangan mendadak oleh para wanita. Disebut Unit Joshigun, samurai wanita itu melawan senapan modern tentara kekaisaran dengan menggunakan naginata.
Pasukan kekaisaran menyadari bahwa mereka sedang menghadapi wanita. Maka pasukan pun diperintahkan untuk menangkap para pejuang wanita hidup-hidup. Ini berarti mereka harus menahan tembakan. Karena menahan tembakan, samurai wanita pun segera maju menyerang. Nakano Takeko membunuh lima atau enam orang dengan naginatanya.
Tetapi sang pemimpin samurai wanita itu pun akhirnya ditembak mati. Kakak perempuannya, Masako, kemudian memenggal kepala Takeko agar tidak diambil sebagai piala. Kepala yang terpenggal itu dengan aman dibawa kembali ke kuil setempat.
Para wanita Samurai mempertahankan Kastel Aizu-Wakamatsu dengan keberanian melebihi rata-rata. Mereka rela membunuh anggota keluarga daripada membiarkan mereka ditangkap.
Kawahara Asako, istri hakim Zenzaemon, memotong rambutnya dan memenggal kepala ibu mertua dan putrinya. Setelah itu, ia mencari kematian dalam pertempuran, naginata di tangan dan bersimbah darah.
Puisi kematian yang ditulis oleh Nakano Takeko menunjukkan betapa sederhananya gadis muda dari Kekaisaran Jepang itu.