Nationalgeographic.co.id—Katana adalah pedang samurai Kekaisaran Jepang yang paling terkenal. Katana dianggap sebagai “jiwa samurai”. Bahkan, pedang ini adalah salah satu senjata paling mematikan yang digunakan di Jepang kuno dan feodal oleh samurai.
Asal-usulnya tidak sepenuhnya diketahui. Ini merupakan kombinasi dari keahlian Tiongkok dan Jepang. “Bentuk awalnya mungkin berasal dari Tiongkok,” tulis A. Sutherland di laman Ancient Pages.
Menurut versi lain, katana pertama diciptakan oleh Amakuni Yasutsuna. Tidak makan dan minum selama 7 hari 7 malam, Amakuni mendapatkan wahyu dari Kami atau dewa. Setelah itu, ia mengubah teknik pembuatan pedangnya dan menghasilkan katana pertama yang kelak digunakan oleh samurai Kekaisaran Jepang.
Pedang yang menjadi semangat Kekaisaran Jepang
Sejak zaman kuno, pedang menjadi simbol keimanan dan otoritas. Itu memainkan peran penting sebagai dasar konsep semangat Kekaisaran Jepang.
Dalam bukunya Katana: The Samurai Sword, Stephen Turnbull menulis:
“Bagi seorang samurai, katana seorang samurai adalah senjata sekaligus simbol. Hubungan antara manusia dan pedang belum pernah diungkapkan dengan lebih baik daripada kata-kata shogun besar Kekaisaran Jepang, Tokugawa Ieyasu (1542–1616). Ieyasu menyatakan bahwa pedang adalah jiwa prajurit.”
Tidak ada samurai yang dapat hidup tanpa pedangnya, baik saat mengenakan baju besi atau pakaian sehari-hari. Katana yang ditempa oleh master terkenal adalah salah satu hadiah paling berharga yang bisa diterima seorang prajurit. Membawa katana akan memberi tahu dunia bahwa pemiliknya adalah seorang samurai sejati serta anggota elite sosial dan militer.
Katana juga membawa arti pelindung antara kelahiran dan kematian seseorang, melindungi mereka dari cedera. Ketika Samurai menggunakan pedang untuk menebas dalam satu gerakan yang sama, tindakannya itu menakjubkan sekaligus mematikan.
Kata dalam bahasa Jepang katana hanya berarti pedang atau senjata tunggal. Kata tersebut juga digunakan sebagai sebutan untuk pedang tertentu yang digunakan dari abad ke-17 hingga akhir abad ke-19. Sejarah pengerjaan senjata tajam di Kekaisaran Jepang terbentang lebih dari 2.000 tahun.
Penampakan Katana di Kekaisaran Jepang
Secara tampilan, katana adalah bilah melengkung, bermata satu dengan pelindung melingkar atau persegi. Katana dilengkapi dengan pegangan panjang untuk menampung dua tangan.
Senjata ini terbuat dari tiga jenis baja dengan kekerasan yang berbeda seperti baja lunak (shigane), baja sedang (kawagane), dan baja keras (hagane).
Prosesnya sangat rumit dan memakan waktu. Itu termasuk perawatan bijih besi, yang dipalu menjadi batang, ditekuk di tengah, dicampur, lalu ditekuk lagi. Proses memalu itu dilakukan hingga 16 kali untuk mendapatkan baja keras.
Bilah katana panjangnya sekitar 60-80 cm dan berat 1,1-1,3 kg. Ini tidak jauh berbeda dari pendahulunya, tachi. Namun bilah katana biasanya sedikit lebih ringan. Katana juga memiliki bilah yang lebih melengkung yang menyempit ke arah ujung.
Yang membedakan katana dari tachi adalah perubahan cara samurai membawa pedang. Tachi digantung dengan tali di pinggang. Mata pedang mengarah ke bawah. Sedangkan dengan katana, pedang ditancapkan ke ikat pinggang, mata pedang pedang mengarah ke atas.
Keunggulan katana dibandingkan dengan senjata lain bila digunakan dalam situasi kritis
Dengan menggunakan katana, seorang samurai yang terampil dapat menarik dan menebas lawannya dengan satu gerakan dalam sekejap mata. Ini adalah keahlian penting dalam perang jarak dekat, di mana kemenangan sangat bergantung pada waktu respons yang singkat.
Manuver itu tidak mungkin dilakukan dengan tachi, pendahulu kuno katana.
Prajurit samurai tidak secara eksklusif memakai pedang katana. Namun, setelah tahun 1588, hanya Samurai yang memakai katana yang dikombinasikan dengan senjata lain yang lebih pendek. Senjata yang lebih pendek itu dikenal sebagai wakizashi. Kombinasi ini disahkan hingga tahun 1871.
Masa ketika pedang hanya boleh digunakan oleh para samurai
Pada tahun 1588, Toyotomi Hideyoshi, orang kedua dari tiga pemersatu Kekaisaran Jepang, mengeluarkan dekrit.
Sejak saat itu, para petani dilarang membawa pedang atau senjata lainnya. Pedang hanya akan disediakan untuk kelas prajurit samurai.
“Peristiwa ini dikenal dengan nama “Perburuan Pedang” atau Katanagari,” tulis Kallie Szczepanski di laman Thoughtco.
Katanagari adalah kebijakan heinobunri (memisahkan antara samurai dan petani) yang merampas hak istimewa kelas petani untuk memakai pedang.
Sebelum akhir abad ke-16, Penduduk Kekaisaran Jepang dari berbagai kelas membawa pedang dan senjata lain. Hal ini dilakukan untuk pertahanan diri selama periode Sengoku yang kacau. Namun, kadang-kadang orang-orang menggunakan senjata ini untuk melawan penguasa samurai mereka dalam pemberontakan petani (ikki).
Perburuan Pedang ini juga berperan dalam penghentian kekerasan setelah Sengoku. Pada akhirnya, dekrit ini mengarah ke perdamaian 2,5 abad yang menjadi ciri Keshogunan Tokugawa.
Rahasia kuno dari teknik tradisional pembuatan pedang di Kekaisaran Jepang saat ini hanya diketahui oleh sekitar 300 pembuat pedang. Ironisnya, tradisi pembuatan pedang telah menurun secara signifikan di Kekaisaran Jepang.
Padahal, pada awal abad ke-15, ada sekitar 3.550 pembuat pedang aktif. Mereka membuat pedang dengan kualitas luar biasa dan penampilan yang sangat artistik. Menerima pedang seperti itu merupakan kehormatan besar bagi seorang samurai di masa itu.
Kini dengan menghilangnya kelas samurai, pembuat pedang pun turut menghilang seiring dengan berjalannya waktu.