Nationalgeographic.co.id—Manusia dan orangutan, secara genetik, punya DNA yang hampir sama, sebesar 97 persen. Ini menandakan bahwa kedua spesies bisa terkena dua penyakit yang sama.
"Hanya saja yang membuat saya bingung, daya tahan orangutan lebih kuat daripada manusia. Apa yang membedakannya?" ungkap Edy Sudiyono, Manajer Kemitraan Program Terestrial Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN).
Ternyata, kuncinya adalah apa yang dimakan oleh orangutan. Ada lebih dari 1.500 jenis tumbuhan yang menjadi makanan orangutan. Irawan Wijaya Kusuma, profesor dan pengajar di Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, meneliti kimia hasil hutan. Ada 30 jenis di antaranya yang menjadi fokus.
Melalui dikusi "Potensi Nutrisi dan medisinal dari Jenis-jenis Tumbuhan pakan Orangutan di Bentang Alam Wehea-Kelay", Irawan mengungkapkan bahwa sebelas di antaranya punya multikhasiat dan aman. Diskusi itu diadakan hari Kamis (20/06) di Jakarta oleh YKAN.
Khasiat dari tumbuh-tumbuhan makanan orangutan ini tidak hanya sekadar menyehatkan seperti jamu, tetapi juga seperti obat yang bisa menyembuhkan. Dengan demikian, berbagai jenis tumbuhan itu membuka peluang sebagai farmasi hijau.
Kajian yang dilakukan oleh Irawan dan tim penelitinya mengungkapkan, sekitar 59 jenis tumbuhan pakan orangutan di Bentang Alam Wehea-Kelay, ternyata 50 persen di antaranya telah dimanfaatakan secara tradisional oleh manusia.
Wehea-Kelay adalah tempat permukiman suku Dayak Wehea di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Di dalamnya terdapat hutan adat yang dilindungi lebih dari 530.000 hektare, sebagai rumah bagi satwa yang terancam punah, termasuk orangutan kalimantan.
"Jenis tumbuhan tersebut digunakan sebagai anti-luka, anti-infeksi, dan peradangan, untuk suplemen, dan penggunaan lainnya," jelas Irawan.
Salah satu tumbuhan itu adalah Macaranga conifera atau yang lebih dikenal sebagai mahang. Selama ini, tumbuhan tersebut sering dianggap sebagai gulma, atau tumbuhan liar yang mengganggu dan tidak ada manfaatnya.
Irawan menyebutkan bahwa ekstrak tanaman ini telah diuji menghadapi berbagai bakteri dan jamur. Ternyata ekstraknya saja sangat berkhasiat menghadapi berbagai penyakit, melampaui obat-obatan sintetis.
Di luar itu, Direktur Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Samarinda (STIKSAM) Soepomo mengungkapkan bahwa Macaranga sp., sebagai tumbuhan makanan orangutan, berkhasiat di bidang kecantikan. Ekstraknya pernah diuji daya sebar, daya serap, pH, dan viskositas, untuk membuktikannya.
"Sekarang trennya yang lebih populer back to nature, sebagai pemanfaatan perkembangan bahan herbal, terus meningkat di seluruh dunia," tuturnya di forum yang sama.
Minat masyarakat untuk mencoba berbagai farmasi alami sangat terlihat ketika pandemi COVID-19. Sebelum penawar dan vaksinnya ada, masyarakat berlomba-lomba menemukan tanaman penawar penyakit tersebut, walau beberapa di antaranya adalah hoaks dan misinformasi.
Sayangnya, minat untuk pengembangan tanaman herbal dalam konsep farmasi hijau masih kurang di Indonesia. Raymond R. Tjandrawinata, Direktur Riset dan Pengembangan Bisnis Dexa Medica, mengatakan, padahal farmasi hijau (green pharmacy) menawarkan manfaat bagi keberlangsungan ekosistem dan kesehatan.
"Tumbuhan Indonesia berkhasiat hanya jarang dan belum dimanfaatkan. Tidak hanya menyehatkan tapi juga mengobati," ungkap Raymond. "Pemanfaatannya bisa lebih dalam dengan meneliti sampai urutan DNA-nya untuk pengobatan."
Melalui diskusi ini, Raymond, Irawan, dan Soepomo, berharap ada dukungan segala pihak dalam pengembangan obat-obatan herbal, berbasis tumbuhan asli Indonesia.
"Obat agak banyak jalan [agar bisa disetujui] di BPOM. Tanpa data memadai, dan mereka punya standar beda-beda," lanjut Raymond. Padahal, hasil riset dari berbagai bidang kesehatan dan kehutanan terkait obat-obatan dari tumbuhan asli Indonesia sudah membuktikan kemujarabannya.
"PR-nya memastikan Kemenekes dan tenaga kesehatan yakin akan green pharmacy [asli Indonesia] yang [selama ini] selalu diimpor," tuturnya. "Biodiversitas tumbuhan kita sangat kaya."
Raymond melanjutkan, farmasi hijau juga merupakan bagian dari keberlanjutan ekologi. Selama ini zat kimia farmasi untuk obat-obatan sintetis kerap terbuang dan menimbulkan limbah. Contoh kasusnya, Teluk Jakarta tercemar kandungan parasetamol yang berdampak kelangsungan hidup bawah laut.
Keunggulan lainnya dengan tanaman herbal dalam konsep farmasi hijau, membantu perekonomian masyarakat pertanian. Mereka menjadi pemasok bahan baku yang nantinya diubah menjadi obat-obatan.
"Sementara green pharmacy fitofarma, menggunakan bahan-bahan dari alam untuk alam. Jadi, tidak hanya menyejahterakan pasien, tapi juga petani," lanjut Raymond.
Obat herbal dan konservasi hutan
Soepomo melanjutkan, potensi pengembangan obat-obatan herbal asli Indonesia tentu jangan sampai merusak hutan dan habitat satwa langka, sebagai hasil alam.
Di satu sisi, perlu juga melibatkan masyarakat, selain dalam sistem pengambil hasil dari alam, tetapi juga pelaku ekstraksi untuk mendorong ekonomi. "Ekonomi masyarakat adat adalah tameng bagi konservasi. Kami tidak mau mengembangkan hasil yang ekstraktif," tutur Edy, senada dengan Soepomo.
Mengetahui khasiat tumbuhan yang dimakan oleh orangutan merupakan upaya penting pelestarian alam. Dengan mengetahuinya, kita tahu bahwa orangutan menjadi pengajar terbaik tentang cara bertahan hidup dari berbagai penyakit.
"Hal ini meneguhkan peran penting orangutan di alam, berikut keberadaan habitatnya untuk dilestarikan," kata Edy.
Macaranga sp. adalah makanan orangutan di hutan yang pertumbuhannya lambat dan bukan invasif, terang Irawan. Tumbuhan ini bisa mati dengan mudah oleh tumbuhan yang lebih kuat dalam pertahanan hidupnya.
"Kami mencari tanaman yang lambat pertumbuhannya sebagai tujuan keberlanjutan dalam konservasi," jelas Irawan. Dia mengungkapkan, potensi dari Macaranga sp. adalah jenis tumbuhan 'perintis' yang bisa cepat tumbuh di lahan terbuka yang baru, memungkinkan pertumbuhan tanaman lain tumbuh sebagai upaya penghijauan.
#SayaPilihBumi