Hiang mulai menceritakan tentang dirinya, rasa frustrasinya, kekecewaannya, dan keterasingan yang dia rasakan di dunia Barat, khususnya di Belanda. Fernanda terlarut seraya mendengarkan dan mengajukan pertanyaan.
Ia menjelaskan asal-usulnya bahwa ia berasal dari Soekaboemi, sebuah kota di Jawa Barat di Hindia Belanda. Keluarga Thung (panggilan lain bagi Hiang) memiliki penggilingan padi dan pabrik teh di sana.
Secara tersirat, Hiang menyebut bahwa keluarganya cukup kaya. Sudah menjadi kebiasaan bahwa keluarga Tionghoa akan membiayai pendidikan semua putra tertua, dan kebetulan Hiang adalah anak tertua dari tujuh bersaudara.
Fernanda merasa bahwa Hiang adalah Tionghoa yang berbeda dari yang lainnya. Ia terampil berbahasa Belanda karena menerima pelajaran bahasa Belanda sejak usia enam tahun di Hindia Belanda.
Sehari-harinya di rumah, Hiang beserta keluarganya kerap berbicara dengan bahasa Sunda atau bahasa Melayu. Ia juga dikenal berprestasi sehingga otoritas pendidikan Hindia Belanda merekomendasikannya untuk melanjutkan studi di Belanda.
Ia menempuh pendidikan tinggi di Rijks Hoogere Land, Tuin dan Boschbouwschool, di Wageningen, yang merupakan kampus pertanian yang cukup sohor di Belanda.
Hiang juga bercerita bahwa ia aktif dalam pergerakan mahasiswa Indonesia. Seperti halnya terlibat dalam Verbond van Studerenden Indonesie (Perhimpunan Mahasiswa Indonesia). Hiang juga bergumul dengan tokoh besar bangsa, Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir.
Di pertengahan tahun ketiga studi, Hiang mendaftar untuk studi filsafat dan sinologi di Universitas Leiden. Dia adalah siswa yang brilian, tetapi dorongannya juga membuatnya sakit. Dari sana, Duyvendak menjadi sangat perhatian dengan mahasiswanya ini.
Setelahnya, Hiang juga bercerita tentang keresahan dan prinsip hidupnya. Baginya, segala sesuatu di Barat berbenturan dengan sikap Konfusianisme yang menjadi keyakinan hidupnya.
"Nilai-nilai etis seperti ketulusan, kemanusiaan, kesopanan, dan kesetiaan sangat penting dalam ajaran Konfusianisme, tanpa bantuan agama," terusnya. Dalam romansa sejarah hidup Fernanda, kisah Hiang telah menggugahnya.
Ia menyadari bahwa selama ini ia tak diliput rasa cinta dengan Barend, suaminya. Fernanda merasa kaki dan tangannya terbelenggu, menjaga citra suaminya sebagai pendeta yang terpandang.
Sebaliknya, Hiang seperti orang bebas. Hidupnya untuk ilmu pengetahuan dan prinsip hidupnya menjadi refleksi tersendiri bagi pandangan Fernanda.
"Barend berkali-kali terlihat lebih jantan dan tampan, tetapi dalam diri Hiang, dia [Fernanda] menemukan dirinya yang setara, dengan semangat yang sama," ungkapnya. Perlahan, benih cinta mulai tumbuh di antara keduanya.
Romansa sejarah ini meliput Fernanda bak menemukan cinta sejatinya. Mereka saling memahami dan merasakan adanya getaran yang sama.
"Peti es mencair," kata Lidy saat menggambarkan perasaan yang selama ini dirasakan Fernanda saat cinta datang padanya. Bak kerak es yang mendingin di sekitar hatinya, menurutnya terlalu dingin dan tidak bisa ditembus untuk cinta, sebelum akhirnya Hiang datang.
Secara mengejutkan, kisahnya berlanjut ketika Fernanda memutuskan untuk meninggalkan Barend yang menkah dengannya selama sepuluh tahun. Ia memilih untuk hidup dengan Hiang, orang baru yang datang dalam hidupnya.
Sebagaimana pelarangan pernikahan Belanda-Tionghoa, mereka memutuskan untuk melangsungkan pernikahannya pada 15 September 1923 di St. Pancras, London, Inggris.
Tak diceritakan mereka tinggal selanjutnya. Yang jelas, Hiang telah mencatat sejarah romansa yang menarik dan jarang terjadi, ketika berhasil menarik hati seorang wanita Belanda yang semula tak menginginkan dirinya.