Nationalgeographic.co.id—Tentang romansa sejarah yang tak biasa untuk masuk ke dalam catatan sejarah mainstream di negeri ini, sejatinya menarik untuk dibaca kembali. Sebagaimana cinta, tiba-tiba datang tak diduga dan tak dinyana.
Romansa sejarah kali ini berkisah tentang kekaguman seorang wanita Belanda yang jarang terjadi. Ia meninggalkan kekasih Belandanya yang berkulit putih, tampan, bertubuh tinggi dan tegap, serta terpandang, demi menikahi seorang pria Tionghoa dari Hindia Belanda.
Tokoh utama dalam kisah ini ialah Fernanda Louise Willekes MacDonald, bersuami pendeta yang terpandang di North Limburg, di Hervormde Gemeente, Barend nama suaminya. Mereka pindah ke sana pada tahun 1919.
Fernanda Louise Willekes MacDonald adalah putri dari Ferdinand Lodewijk Willekes MacDonald dan Antonia Albertina van Vloten. Ia lahir pada 21 Agustus 1893 di Bussum, distrik Belanda bagian Utara.
Barend menjadi pendeta terhormat di gereja Kristen-Sosialis di Gennep, North Limburg, menggantikan Willy Kruyt yang naik menjadi anggota DPR. Mau tak mau, mereka pindah dari Utrecht setelah pernikahannya sejak 1913.
Fakta yang terungkap bahwa "Fernanda sejatinya tak benar-benar mencintai Barend," tulis Lidy Nicolasen kepada Historiek dalam artikel berjudul "Getrouwd en verliefd op een Chinees uit Nederlands-Indië", terbitan 8 November 2021.
Menuruti permintaan ibunya, Fernanda tidak benar-benar mencintai Barend. Lebih-lebih, Barend adalah seorang pendeta yang sibuk dengan pekerjaannya, hingga kurangnya kasih sayang yang dirasakan Fernanda.
Tak hanya itu, dalam pernikahannya, Fernanda merasa minder karena keterampilan Barend terhadap pembacaan Alkitab. Ia menyadari posisinya sebagai wanita biasa yang baru belajar Alkitab, alih-alih menguasai. Ia merasa hidupnya tak setara dengan suaminya yang bergaul dengan "lingkungan suci."
Cerita hidup Fernanda berubah ketika Barend sewaktu-waktu membawa seorang Tionghoa dari Hindia Belanda untuk tinggal di apartemennya. Ia bernama Tjeng Hiang, seorang pelajar Tionghoa yang sejatinya tinggal di Jawa.
Dikisahkan dalam romansa sejarah ini, Hiang melancong untuk keperluan studinya. Namun, Hiang berbeda dengan orang-orang Tionghoa lainnya yang menetap sementara waktu di Belanda. Ia kerap berpakaian rapi selayaknya pelajar Indonesia lainnya dengan setelan jas.
Atas permintaan sinolog Leiden, Jan Duyvendak, Hiang diminta untuk tinggal bersama keluarga Barend. Hiang adalah murid Duyvendak, saat itu ia baru berusia awal dua puluhan.
Menurut sang profesor, dia dalam kondisi yang cukup stres dan mengalami tekanan berat serta kelelahan. Ia membutuhkan "keluarga untuk membuat hidupnya lebih tertata dan mengalihkan pikirannya dari kepenatan studi, serta adaptasinya di Belanda," imbuhnya.
Bagi Barend, permintaan Duyvendak adalah tawaran yang bagus karena ia akan menerima kompensasi selama mengurus hidup Hiang. Namun, tidak bagi Fernanda. Baginya, hubungannya dengan Barend sudah cukup buruk, ditambah lagi harus mengurusi orang asing yang tak jelas rimbanya.
Fernanda memandang bahwa kebanyakan Tionghoa di Belanda memiliki reputasi yang buruk. Secara rasisme, orang-orang Tionghoa dijuluki oleh orang-orang Belanda dengan sebutan 'hama' atau bahkan 'bahaya kuning'.
Orang Tionghoa akan merasakan diskriminasi yang luar biasa, mereka dilarang keras untuk menikah dengan orang Belanda. Ini menjadi kebijakan pemerintah, demi mencegah terjadinya percampuran ras.
Tak cuma itu, kerap kali geng Tionghoa di Belanda menciptakan keonaran. Mereka dikenal kerap memperdagangkan senjata dan opium secara ilegal. Barangkali ini yang ditakuti Fernanda.
Meski sempat berselisih, Barend tetap membutuhkan uang untuk kehidupan keluarganya, membuatnya mempersilakan Hiang tinggal satu atap dengan anak dan istrinya. Siswa Tionghoa dari Hindia Belanda itu datang ke kediaman Barend tepat saat Fernanda berulang tahun.
Hiang memberikan ucapan kartu pos "selamat ulang tahun" serta permohonan agar Fernanda menerimanya untuk tinggal bersama keluarganya. Tak disangka, anak-anak Fernanda dan Barend menerima dengan hangat kehadiran Hiang di tengah-tengah mereka.
Hiang terkesan dengan kedua anak Fernanda, bernama Hensy dan Enny. Mereka memanggilnya 'Paman Hiang' dan terkadang hanya Thung. Mereka dengan cepat menjadi akrab dengannya.
Mau tak mau, demi menuruti permintaan suaminya, Fernanda mengurusi hajat hidup Hiang. "Dia mengasuhnya, seperti dia mengasuh anak-anaknya sendiri, atau seperti ia mengasuh suaminya sendiri," terang Lidy dalam tulisannya.
Fernanda mencucikan pakaiannya dan mengganti tempat tidurnya. Romansa sejarah mencatat bahwa usia Fernanda terpaut empat tahun lebih tua dari usia Hiang.
Suatu malam, ketika anak-anak sudah tidur dan Barend masih sibuk dengan urusan gereja, Hiang bergabung dengan Fernanda di meja di ruang tamu tempat dia duduk, terlihat tengah merapikan barang-barang.
Hiang mulai menceritakan tentang dirinya, rasa frustrasinya, kekecewaannya, dan keterasingan yang dia rasakan di dunia Barat, khususnya di Belanda. Fernanda terlarut seraya mendengarkan dan mengajukan pertanyaan.
Ia menjelaskan asal-usulnya bahwa ia berasal dari Soekaboemi, sebuah kota di Jawa Barat di Hindia Belanda. Keluarga Thung (panggilan lain bagi Hiang) memiliki penggilingan padi dan pabrik teh di sana.
Secara tersirat, Hiang menyebut bahwa keluarganya cukup kaya. Sudah menjadi kebiasaan bahwa keluarga Tionghoa akan membiayai pendidikan semua putra tertua, dan kebetulan Hiang adalah anak tertua dari tujuh bersaudara.
Fernanda merasa bahwa Hiang adalah Tionghoa yang berbeda dari yang lainnya. Ia terampil berbahasa Belanda karena menerima pelajaran bahasa Belanda sejak usia enam tahun di Hindia Belanda.
Sehari-harinya di rumah, Hiang beserta keluarganya kerap berbicara dengan bahasa Sunda atau bahasa Melayu. Ia juga dikenal berprestasi sehingga otoritas pendidikan Hindia Belanda merekomendasikannya untuk melanjutkan studi di Belanda.
Ia menempuh pendidikan tinggi di Rijks Hoogere Land, Tuin dan Boschbouwschool, di Wageningen, yang merupakan kampus pertanian yang cukup sohor di Belanda.
Hiang juga bercerita bahwa ia aktif dalam pergerakan mahasiswa Indonesia. Seperti halnya terlibat dalam Verbond van Studerenden Indonesie (Perhimpunan Mahasiswa Indonesia). Hiang juga bergumul dengan tokoh besar bangsa, Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir.
Di pertengahan tahun ketiga studi, Hiang mendaftar untuk studi filsafat dan sinologi di Universitas Leiden. Dia adalah siswa yang brilian, tetapi dorongannya juga membuatnya sakit. Dari sana, Duyvendak menjadi sangat perhatian dengan mahasiswanya ini.
Setelahnya, Hiang juga bercerita tentang keresahan dan prinsip hidupnya. Baginya, segala sesuatu di Barat berbenturan dengan sikap Konfusianisme yang menjadi keyakinan hidupnya.
"Nilai-nilai etis seperti ketulusan, kemanusiaan, kesopanan, dan kesetiaan sangat penting dalam ajaran Konfusianisme, tanpa bantuan agama," terusnya. Dalam romansa sejarah hidup Fernanda, kisah Hiang telah menggugahnya.
Ia menyadari bahwa selama ini ia tak diliput rasa cinta dengan Barend, suaminya. Fernanda merasa kaki dan tangannya terbelenggu, menjaga citra suaminya sebagai pendeta yang terpandang.
Sebaliknya, Hiang seperti orang bebas. Hidupnya untuk ilmu pengetahuan dan prinsip hidupnya menjadi refleksi tersendiri bagi pandangan Fernanda.
"Barend berkali-kali terlihat lebih jantan dan tampan, tetapi dalam diri Hiang, dia [Fernanda] menemukan dirinya yang setara, dengan semangat yang sama," ungkapnya. Perlahan, benih cinta mulai tumbuh di antara keduanya.
Romansa sejarah ini meliput Fernanda bak menemukan cinta sejatinya. Mereka saling memahami dan merasakan adanya getaran yang sama.
"Peti es mencair," kata Lidy saat menggambarkan perasaan yang selama ini dirasakan Fernanda saat cinta datang padanya. Bak kerak es yang mendingin di sekitar hatinya, menurutnya terlalu dingin dan tidak bisa ditembus untuk cinta, sebelum akhirnya Hiang datang.
Secara mengejutkan, kisahnya berlanjut ketika Fernanda memutuskan untuk meninggalkan Barend yang menkah dengannya selama sepuluh tahun. Ia memilih untuk hidup dengan Hiang, orang baru yang datang dalam hidupnya.
Sebagaimana pelarangan pernikahan Belanda-Tionghoa, mereka memutuskan untuk melangsungkan pernikahannya pada 15 September 1923 di St. Pancras, London, Inggris.
Tak diceritakan mereka tinggal selanjutnya. Yang jelas, Hiang telah mencatat sejarah romansa yang menarik dan jarang terjadi, ketika berhasil menarik hati seorang wanita Belanda yang semula tak menginginkan dirinya.