Nationalgeographic.co.id - Perubahan iklim saat ini telah menjadi isu dan masalah global, dan bahkan menjadi alasan lahirnya Paris Agreement atau perjanjian Paris. Traktat tersebut adalah perjanjian internasional yang mengikat secara hukum untuk mitigasi perubahan iklim.
Tidak hanya itu, perubahan iklim juga telah menggerakan ilmuwan di seluruh dunia. Ribuan orang telah menandatangani karya ilmiah yang menyatakan bahwa mengabaikan perubahan iklim akan membuat kita menyesal.
Terlepas dari semua keributan tersebut, tetapi sebenarnya sejak kapan umat manusia menyadari ancaman perubahan iklim dan bahaya yang ditimbulkannya?
Saat ini, jelas sekali, bahwa lebih dari 99% makalah ilmiah setuju bahwa manusia adalah penyebab perubahan iklim. Akan tetapi perubahan iklim tidak selalu menjadi perhatian semua orang.
Para ilmuwan pertama kali mulai khawatir tentang perubahan iklim menjelang akhir 1950-an, Spencer Weart, seorang sejarawan dan pensiunan direktur Pusat Sejarah Fisika di Institut Fisika Amerika di College Park, Maryland, mengatakan kepada Live Science melalui surel.
"Itu hanya kemungkinan untuk abad ke-21 yang tampaknya sangat jauh, tetapi dipandang sebagai bahaya yang harus diwaspadai."
Komunitas ilmiah mulai bersatu untuk bertindak terhadap perubahan iklim pada 1980-an, dan peringatan tersebut semakin meningkat sejak saat itu.
Namun, peringatan baru-baru ini hanyalah puncak gunung es yang mencair. Minat orang-orang tentang bagaimana aktivitas kita memengaruhi iklim sebenarnya sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu.
Sejauh Yunani kuno (1200 SM hingga 323 M), orang memperdebatkan apakah mengeringkan rawa atau menebang hutan dapat membawa lebih banyak atau lebih sedikit curah hujan ke wilayah tersebut, menurut situs Weart's Discovery of Global Warming.
Situs tersebut dikung penuh oleh American Institute of Physics dan berbagi nama dengan bukunya The Discovery of Global Warming (Harvard University Press, 2008).
Perdebatan Yunani kuno adalah salah satu diskusi perubahan iklim yang terdokumentasi pertama, tetapi hanya berfokus pada wilayah lokal.
Tidak sampai beberapa milenium kemudian, pada tahun 1896, ilmuwan Swedia Svante Arrhenius (1859-1927) menjadi orang pertama yang membayangkan bahwa umat manusia dapat mengubah iklim dalam skala global, menurut Weart.
Saat itulah Arrhenius menerbitkan perhitungan di The London, Edinburgh, and Dublin Philosophical Magazine and Journal of Science yang menunjukkan bahwa menambahkan karbon dioksida ke atmosfer dapat menghangatkan planet ini.
Karya ini didasarkan pada penelitian ilmuwan abad ke-19 lainnya, seperti Joseph Fourier (1768-1830), yang berhipotesis bahwa Bumi akan jauh lebih dingin tanpa atmosfer.
Sementara itu John Tyndall (1820-1893) dan Eunice Newton Foote (1819- 1888), yang secara terpisah mendemonstrasikan bahwa karbon dioksida dan uap air memerangkap panas.
Mereka kemudian menyatakan bahwa atmosfer dapat melakukan hal yang sama, menurut JSTOR Daily.
Prediksi perubahan iklim Arrhenius sebagian besar tepat. Aktivitas manusia melepaskan karbon dioksida, metana, dan gas rumah kaca lainnya yang memerangkap radiasi dari matahari.
Itu semua kemudian menahannya di atmosfer untuk meningkatkan suhu seperti rumah kaca yang memanas, sehingga disebut "efek rumah kaca".
Namun, karya Arrhenius tidak dibaca atau diterima secara luas pada saat itu, bahkan tidak dimaksudkan sebagai peringatan bagi umat manusia. Karya Arrhenius saat itu benar-benar diabaikan sebagai suatu masalah.
Pada saat itu, karyanya hanya mengenali kemungkinan manusia memengaruhi iklim global dan untuk waktu yang lama, orang memandang pemanasan sebagai manfaat, menurut Weart.
Ada beberapa liputan tentang bahan bakar fosil yang memengaruhi iklim di media umum, menurut artikel tahun 1912 yang sekarang menjadi viral yang pertama kali diterbitkan di majalah Popular Mechanics.
Artikel tersebut, yang dimuat di beberapa surat kabar di Selandia Baru dan Australia akhir tahun itu, mengakui bahwa pembakaran batu bara dan pelepasan karbon dioksida dapat meningkatkan suhu bumi.
Laporan tersebut juga mencatat bahwa "dampaknya mungkin cukup besar dalam beberapa abad."
Mengapa tahun 1950-an?
Pendapat ilmiah tentang perubahan iklim tidak akan mulai bergeser sampai dua eksperimen penting sekitar 60 tahun setelah realisasi Arrhenius.
Yang pertama, dipimpin oleh ilmuwan Roger Revelle (1909-1991) pada tahun 1957 dan diterbitkan dalam jurnal Tellus.
Ia menemukan bahwa lautan tidak akan menyerap semua karbon dioksida yang dilepaskan dalam emisi bahan bakar industri manusia dan bahwa tingkat karbon dioksida di atmosfer dapat, oleh karena itu, naik secara signifikan.
Tiga tahun kemudian, Charles Keeling (1928-2005) menerbitkan studi terpisah di Tellus yang mendeteksi kenaikan tahunan kadar karbon dioksida di atmosfer bumi.
Dengan tingkat karbon dioksida yang diketahui memengaruhi iklim, para ilmuwan mulai meningkatkan kekhawatiran tentang dampak emisi terkait manusia terhadap dunia.
Dari sana, lebih banyak penelitian mulai menyoroti perubahan iklim sebagai ancaman potensial bagi spesies dan ekosistem di seluruh dunia.
"Para ilmuwan pertama kali pada tahun 1988 untuk bersikeras bahwa tindakan nyata harus diambil," kata Weart.
Ini terjadi di Konferensi Toronto tentang Perubahan Atmosfer. Saat itu para ilmuwan dan politisi dari seluruh dunia berkumpul.
Pertemuan itu untuk membahas apa yang dibingkai sebagai ancaman global terhadap atmosfer bumi, dengan seruan untuk mengurangi emisi dan efek lanjutan seperti hujan asam.