Solusi Limbah Tekstil: Pakaian Adat Kulawi Mataue dari Kulit Beringin

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Sabtu, 24 Juni 2023 | 22:06 WIB
Ulfi Diasi (20 tahun) menggunakan pakaian tradisional Kulawi di Desa Mataue. Halili (baju) dan topi (rok) dibuat dari bahan alami, yakni kulit kayu beringin. Menggunakan bahan alami tidak menyebabkan limbah tekstil yang mencemari sungai. Masyarakat adat juga menjaga pohon beringin agar tidak rusak, supaya bisa tetap menghasilkan pakaian tradisional. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Pakaian hari ini dibuat dengan pengolahan zat kimiawi yang berbahaya. Setiap kali dicuci, pakaian bisa mencemari air dan ketika terbuang dapat menghasilkan limbah yang berbahaya bagi lingkungan. Setidaknya terdapat lebih dari 18.000 limbah tekstil yang telah mencemari Teluk Jakarta, menurut penelitian tahun 2019.

Rupanya, nenek moyang kita di Sulawesi Tengah punya gaya berpakaian yang ramah lingkungan. Masyarakat adat Kulawi di Desa Mataue mewariskan gaya hidup tradisi ini, yakni membuat pakaian berbahan kulit pohon.

Bahan alami apa pun, selama tidak menebang dan merusaknya, bisa menjadi pakaian bagi masyarakat adat Kulawi Sigi. Di Desa Mataue, mereka memilih kulit kayu dari pohon beringin (Ficus benjamina) dengan batang tebal sebagai bahan baku pakaian tradisional.

"Memang kami, sebagian lahan masuk dengan Taman Nasional (Lore Lindu). Jadi, keterbatasan itu yang kami gunakan untuk membangkitkan kembali budaya-budaya (Kulawi)," kata Hasna, Ketua Kelompok Kain Kulit Kayu saat dijumpai di Potomu Ntodea/Pasar Warga di Taman Taiganja, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Jumat, 23 Juni 2023.

"Dari salah satu desa yang masih melestarikan adat istiadat itu di Mataue. Jadi, kami masih melanjutkan pengetahuan orang tua ini, membuat pakaian dari kulit kayu—itu yang pasti. Kemudian kita kemarin masih bikin acara panen dengan tarian rego yang biasa digunakan untuk pesta syukuran," lanjut Hasna.

Pasar Warga itu diselenggarakan oleh Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) sebagai rangkaian acara Festival Lestari V. Melalui kegiatan ini, Hasna dan rombongan dari Desa Mataue memamerkan pakaian tradisional dari kulit kayu beringin di tenda gerainya.

Di bagian depan, tergantung halili (baju) dan topi (rok). Untuk laki-laki, celana disebut sebagai puruka hengke yang tidak mereka pamerkan di gerai.

Kulit kayu beringin diolah menjadi kain pakaian tradisional melalui beberapa langkah pengolahan. Hal ini membuat pakaian tradisional Kulawi lebih kuat dan tahan lama, tanpa menghasilkan pencemaran saat dibersihkan. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Karena berbahan dari kulit kayu, pakaiannya cukup kaku tetapi daya tahannya bisa bertahun-tahun. Kepala Seksi Kesejahteraan Rakyat Desa Mataue Safrudin menjelaskan, cara pembuatannya adalah menguliti batang kayu pohon beringin. Agar tetap menjaga keberlanjutan, pohon dilarang ditebang.

Kemudian kulit kayu dilemaskan dengan daun levonu (Ficus septica/awar-awar). Proses ini disebut sebagai doki-doki. Pada proses ini, perajin menggunakan beberapa alat tradisional seperti tike dan tiva. Setelah itu, kulit direndam, direbus, dan dihancurkan oleh pola—semacam stik kayu. Terakhir, ditenun hingga menjadi pakaian yang bisa dipakai.

Sebagai ciri khas adat Kulawi, di bagian kepala menggunakan penutup yang disebut higa untuk laki-laki dan tali ennu untuk perempuan. Hari ini higa lebih umumnya berbahan kain, tetapi aslinya menggunakan kulit kayu seperti pakaiannya. Sementara tali ennu yang dipakai Hasna berasal dari manik-manik, yang pada awalnya berasal dari pandan di hutan.

Manik-manik warna-warni ini adalah bahan untuk membuat tali ennu, pengikat kepala untuk perempuan khas adat Mataue, oleh Safrudin. Sejatinya, tali ennu bisa dibuat dengan bahan alami yakni, pandan hutan. Hanya saja, karena pandan hutan penting bagi kawasan TN Lore Lindu, mereka beralih dengan manik-manik. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Semakin tinggi higa dipakai, berarti pemakainya mempunyai posisi penting dalam masyarakat adat. Higa juga bisa dipakai oleh perempuan pembesar adat. Di dalam tenda gerai itu, saya menjumpai Tina Ngata Tobani. Tina Ngata adalah gelar untuk perempuan yang dituakan, karena beliau adalah anggota lembaga adat Kulawi di Mataue.

Mitologi asal-usul Mataue

Sebagai bagian dari suku Kulawi, Mataue adalah kawasan yang menarik di Sulawesi Tengah karena berada di dataran tinggi yang memiliki sumber mata air. "Sepintas orang yang datang ke kampung kami, itu [mengira sudah] pantas disebut [desa kami] sebagai Mataue, karena melihat adanya mata air di sana," kata Hasna.

Padahal, Mataue menyimpan cerita tentang leluhur mereka di desa yang pada akhirnya membentuk perkampungan. Mataue berada di dekat beberapa daerah seperti Palolo, Lindu dan Napu.

Konon dalam mitologi Kulawi, seorang pemburu dari Lindu datang ke Sungai Oo. Pria itu melihat seorang perempuan sendang "ambil air" di sungai, terang Hasna. Setelah mengikutinya, pemburu tersebut hendak melamar perempuan tersebut.

Namun, ia tidak memiliki mahar saat ditagih oleh orang tua sang perempuan. Maka ia memutuskan untuk menggunakan sungai atau air dari Sungai Oo sebagai maharnya. Baginya, sungai itu berharga karena telah mempertemukannya dengan sang perempuan.

Mahar dalam bahasa Kulawi adalah mata. Sementara Sungai Oo sendiri terkadang dilafalkan dengan ue. Sehingga, mataue berarti Sungai Oo atau air dari Sungai Oo yang dijadikan mahar.

#SayaPilihBumi